Syukur dan Sabar


Oleh: Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Suatu malam ketika sedang makan berdua dengan istri, saya menerima tulisan dari group whatsapp AlFawaaid, seperti ini “Tidaklah ada manusia melainkan : diuji dengan keselamatan agar diketahui bagaimana syukurnya atau sebuah bencana agar diketahui bagaimana sabarnya”.

Tulisan tersebut saya tunjukkan pada istri, dia berkomentar “Syukur dan sabar, dua kata singkat, namun sangat sulit untuk mengimplementasikannya”. Saya katakan pada istri, bahwa saya sangat setuju dengan pendapatnya, karena sehari sebelumnya dalam sebuah rapat, kami membicarakan seorang mahasiswa, yang terpaksa diberi sanksi karena melakukan kebohongan.

Saya cerita pada istri bahwa beberapa hari sebelumnya, saya mendapat undangan dari komite akademik pasca sarjana. Kami tidak tahu secara rinci agenda rapat pada hari itu, dalam pikiran kami paling seperti biasanya, yaitu sekitar evaluasi masa studi bagi para peserta program pasca sarjana. Terutama program doktor, karena permasalahannya lebih komplek dibanding program magister.

Ternyata agenda pertama yang didiskusikan adalah penentuan bentuk sanksi yang akan diberikan kepada seorang mahasiswa peserta program magister, S2. Mahasiswa tersebut telah melakukan pemalsuan sebuah surat keterangan yang diperlukan sebagai salah satu syarat untuk proses wisuda. Informasi yang diterima oleh pengelola program, bahwa tindakan pemalsuan itu dilakukan karena masalah keuangan, yaitu dana yang dipunyai mahasiswa sudah menipis. Tetapi ketika dikonfirmasikan ke yang lain, alasan tersebut tidak seratus persen benar.

Mendengar permasalahan itu, kami sebagai pendidik prihatin, sangat menyesalkan, apapun alasannya, tindakan itu tidak dibenarkan. Memang sangat konyol, sebenarnya dia telah berhasil menyelesaikan semua, bahkan sudah ujian pendadaran. Dia telah mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan lain sebagai syarat wisuda, kecuali satu kegiatan yang terkait dengan surat keterangan tersebut. Untuk mendapatkan surat itu, memang dia perlu hadir beberapa kali dalam pertemuan dan ada evaluasinya. Namun nampaknya dia kurang sabar, dia memilih “potong kompas” daripada mengikuti prosedur sebenarnya. Dia melakukan tindakan yang tidak dibenarkan, memalsukan surat keterangan tersebut.

Mungkin seseorang akan mengatakan bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang serius, karena untuk kejadian yang sama di tempat lain, sanksi terhadap pelaku hanya disuruh meminta maaf. Namun kami berpikir lain, sanksi terhadap tindakan pemalsuan atau kebohongan yang dilakukan oleh peserta didik harus tegas, yang kira-kira bisa memberikan efek jera, agar dia tidak mengulang lagi. Akhirnya dia diberi sanksi penundaan wisuda selama enam bulan setelah yang bersangkutan berhasil mendapatkan surat keterangan tersebut, bukannya dimulai saat itu. Berarti upaya untuk mempercepat, justru yang didapat adalah waktu tunggu wisuda yang semakin lama, dan beban moral yang tidak bisa dihapus dengan begitu saja.   

Saya berkata pada istri “Mungkin mahasiswa tadi kurang rasa syukurnya”. Padahal dia telah berhasil menyelesaikan ujian semua matakuliah di program magister dengan baik. Dia sudah berhasil menyusun rencana penelitian, dan dapat lolos dalam ujian proposal. Penelitiannya sudah dapat dilakukan dengan lancar, dan hasilnya juga telah dituliskan dalam naskah tesisnya dengan baik. Bahkan sudah berhasil dipertahankan dalam sidang pendadaran, lulus hanya dengan perbaikan minor, yang dapat langsung diperbaiki dalam hitungan hari, bukan hitungan bulan. Nampaknya dia tidak berusaha merasakan kenikmatan itu semua. Nikmat bisa menjalankan semua kewajiban sebagai mahasiswa dengan lancar dan baik.

Seandainya dia telah banyak bersyukur atas berbagai keberhasilannya, maka dia tidak akan berani melakukan tindakan gegabah tersebut. Dengan bersyukur, maka secara tidak langsung dia telah mengakui ketidak berdayaannya dihadapan Sang Pencipta. Dengan begitu, dia akan merasakan kemurahan Allah Ta’Ala yang telah memberikan rezeki berupa kemudahan dalam menempuh program itu.

Istri saya berguman “Itulah akibat kurang bersyukur sehingga tidak bisa sabar”. Wallahu A’lam Bishawab.
  

Penulis : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Guru Besar Fakultas Teknik Mesi UGM, PU Majalah Fahma
Foto: http://www.ummi-online.com
Powered by Blogger.
close