Adab Dulu, Baru Ilmu
Oleh: Drs. Slamet Waltoyo
Adab dan ilmu adalah dua hal yang tidak
terpisahkan. Allah taala mengisyaratkan agar mendahulukan adab sebelum
memenerima ilmu. Sebagaimana tersebut dalam surat Thoha (20). Sebelum Allah taala
mewahyukan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam bahwa Dia Allah yang Tiada
Ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Lepaskan kedua alas kakimu, sesungguhnya
engkau sedang berada di lembah suci Thuwa” (QS. Thaha 12). Sebelum menerima
wahyu, Allah Ta’ala mengingatkan Nabi Musa ‘alaihissalam akan
sebuah adab, melepas alas kaki di lembah suci Thuwa.
Mari kita melihat pembelajaran di
sekolah kita. Saya mendengar ada kekompakan suara pada sebagian besar guru dan
orangtua. Mereka bersuara yang sama ketika murid atau anaknya memasuki kelas empat
atau lima SD. Saat murid atau anak dituntut bernilai tinggi pada ujian akhir. Suara
kompak yang saya maksud adalah; anak/murid saya malas belajar. Ini dijadikan
salah satu alasan atau kendala sehingga nilai ujian sekolah tidak tinggi.
Kenyataannya itu yang terjadi. Apakah
malas belajar ini sudah menjadi karakter anak-anak murid kita di kelas empat
atau lima SD? Saya tidak sependapat. Mereka bukan anak-anak yang malas.
Termasuk dalam belajar. Betul mereka malas belajar sebagaimana kata guru dan
orangtuanya. Tetapi itu akibat akhir dari rangkaian kondisi jiwa ; bingung –
tidak tertarik – capek – (akhirnya) malas.
Enam tahun anak belajar di SD adalah
rentang waktu yang panjang. Apalagi dalam usia pertumbuhan yang paling cepat
dan penting. Hal ini harus menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola
pembelajarannya.
Kelas satu adalah saatnya anak memasuki
dunia barunya, dunia sekolah. Banyak guru-guru di kelas satu dan dua yang tidak
sabar. Ingin anaknya cepat pintar. Ingin anak-anak di sekolahnya mengungguli
anak-anak di sekolah tetangga. Maka dengan semangat ibu dan bapak guru memberi
pelajaran yang padat materi. Inilah kesalahan pertama. Anak-anak belum kenal ;
Belajar itu apa? Bagaimana cara belajar? Tetapi sudah mendapatkan pelajaran.
Bingunglah jadinya.
Rentang waktu enam tahun harus dipisah
dalam rentang tiga tahun awal sebagai kelas bawah, dan tiga tahun kedua sebagai
kelas atas. Di kelas bawah anak belum mendapatkan materi ajar. Anak baru
belajar bagaimana menjadi pembelajar. Tiga hal yang perlu diberikan pada anak,
yaitu: (1) tuntunan dan pembiasaan adab, (2) dasar-dasar pengetahuan, dan (3)
aktivitas yang menumbuhkan antusiasme belajar.
Tuntunan dan pembiasaan adab harus
mendapat porsi yang besar di kelas bawah. Terutama adab berilmu. Misalnya adab
di kelas, adab terhadap guru, adab dalam menggunakan alat-alat tulis dan
fasilitas pelajaran, adab terhadap teman. Semua dituntun dan dibiasakan secara
detail dan berjenjang per semester.
Di kelas bawah anak dibekali dasar-dasar
pengetahuan. Diperkenalkan dengan simbol-simbol dan bunyi kata, huruf dan
kalimat. Belajar secara berjenjang mulai dari belajar membaca, membaca lancar,
memahami bacaan, membaca cepat hingga gemar membaca. Demikian juga dengan
menulis. Mulai dari belajar menulis, menulis dengan baik, menulis dengan
runtut, hingga gemar menulis. Termasuk dasar pengetahuan yang diberikan adalah
belajar logika sederhana. Berhitung dan logika operasional matematika dengan
media yang kongkrit. Hingga kelas tiga anak menguasai dasar-dasar belajar.
Perlu juga di kelas bawah, kepada anak
ditunjukkan atau diajak melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang, yang
menumbuhkan rasa ingin tahu, membangkitkan pemahaman pentingnya ilmu. Kegiatan
pengamatan, kunjungan ke perpuatakaan, mengkaji buku, melihat hasil teknologi
dan sebagainya, adalah kegiatan yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu. Hingga
membangkitkan antusiasme dalam belajar.
Jika anak melewati kelas bawah dengan
nyaman, mendapatkan bekal yang memadai maka saatnya memasuki kelas atas ia
menjadi pembelajar yang mandiri. Mengamalkan adab belajar, menguasai
dasar-dasar untuk belajar, dan memiliki dorongan ingin tahu.
Tentu tidak sesederhana itu. Karena ini
baru dari dimensi sekolah. Sedangkan pengaruh yang diterima anak dalam
pertumbuhannya dalam dimensi yang sangat kompleks.
Penulis: Drs. Slamet
Waltoyo, Guru MI di Sleman
Post a Comment