Meluruskan Niat dalam Menuntut Ilmu
Oleh: Irwan
Nuryana Kurniawan
Menuntut dan memperdalam ilmu bagi setiap muslim, terutama
ilmu syar’i—mengetahui makna-maknanya, memahami rahasia-rahasianya,
mengamalkannya, dan mengajarkan kepada manusia
yang dengannya seorang muslim dapat menggapai kebahagiaan dunia akhirat bagi
setiap muslim—merupakan pekerjaan mulia, bernilai ibadah, dan pahalanya sangat besar
di sisi Allah Ta’ala. Bahkan Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam
(HR Muslim) menegaskan janji Allah Ta’ala
bagi orang yang menempuh jalan untuk menuntut
ilmu yaitu akan dimudahkan jalan baginya menuju surga-Nya, dan Allah Azza wa Jalla (QS Al Mujadilah :11) akan
meninggikan orang-orang diberi ilmu pengetahuan—bersama-sama dengan orang-orang
yang beriman—beberapa derajat.
Akan tetapi, menurut Syaikh Abu Bakar Abu Zaid (disyarah
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2005), apabila ilmu tidak didasari
dengan keikhlasan niat, dia berubah dari ibadah yang paling mulia menjadi kemaksiatan
yang paling hina. Dan tidak ada sesuatu
pun yang paling bisa menghancurkan ilmu semisal riya’, baik riya yang
menjerumuskan pada kesyirikan atau pun riya’ yang menghilangkan keikhlasan.
Termasuk juga sum’ah, seperti kalau seseorang berkata,” Aku tahu… Aku hafal…”
Maka, selalu berupaya terus menerus untuk memurnikan
niat dari semua yang merusak komitmen dalam menuntut ilmu seperti senang popularitas,
ingin lebih unggul dibandingkan teman sebayanya, atau menjadikannya sebagai alat
untuk mencapai tujuan tertentu—misalnya pangkat, jabatan, kekayaan, kehormatan,
popularitas, pujian, dan kekaguman orang lain terhadap dirinya—penting untuk diperhatikan.
Jika semua hal tersebut di atas sudah mengotori niat seseorang, maka ia merusak
dan melenyapkan keberkahan ilmu. Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya ikhlas
hanya untuk Allah Ta’ala semata tetapi
dituntutnya untuk mendapatkan kekayaan dunia, menurut Syaikh Al Utsaimin
(2005), maka dia tidak akan mencium bau surga.
Oleh karena itu, wajib bagi muslim penuntut ilmu untuk
menjaga betul niatnya dari segala tujuan selain ikhlas karena Allah Azza wa Jalla semata. Syaikh Al Utsaimin
(2005) menjelaskan ada beberapa cara yang dapat kita upayakan untuk bisa ikhlas
dalam menuntut ilmu. Pertama, kita harus berniat bahwa menuntut ilmu itu untuk menjalankan
perintah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menganjurkan untuk menuntut ilmu dan
anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, yang berarti perbuatan tersebut dicintai,
diridhai, dan diperintahkan oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka ketahuilah, bahwa tiada Ilah
Yang Haq melainkan Allah” (QS Muhammad:19).
Kedua, kita harus berniat untuk menjaga syariat
Allah Ta’ala. Menjaga syariat Allah Ta’ala dapat dilakukan dengan belajar,
baik dengan cara menghafal, menulis, maupun mengarang kitab. Ketiga, kita harus
berniat untuk membela syari’at Allah Azza
wa Jalla. Seandainya tidak ada ulama, maka syari’at ini tidak akan terjamin
kebenarannya, juga tidak akan ada seorang pun yang membelanya. Keempat, kita harus
berniat untuk mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihiwa Sallam. Kita tidak mungkin bisa mengikuti ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
kecuali jika kita mengetahuinya terlebih dahulu.
Adab selanjutnya yang perlu kita miliki sebagai penuntut
ilmu adalah menghiasi diri dengan rasa takut kepada Allah Ta’ala secara lahir dan
batin dengan senantiasa menjaga syari’at Islam, mengamalkan, menampakkan, menyebarkan, mendakwahkannya,
dan menunjukkan jalan menuju Allah Azzawa Jalla dengan ilmu, amal, dan akhlak kita.
Inti ilmu, menurut Imam Ahmad, adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala, khasyatullah—rasa takut kepada
Allah Ta’ala yang dilandasi dengan ilmu
dan pengagungan. Jika seseorang telah mengenal Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya, maka dia akan taat kepada-Nya
dengan sebenar-benarnya dari hati sanubarinya. Hanyalah para ulama yang takut kepada
Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama…”(QS. Faathir:28).
Maka, senantiasa takutlah kepada Allah Ta’ala,
baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan, karena sebaik-baik manusia,
sebaik-baik makhluk adalah orang yang takut kepada Allah Azza wa Jalla dan tiada yang yang takut kepada-Nya melainkan orang
yang berilmu. Seseorang tidak bisa dikatakan berilmu jika tidak mengamalkan ilmunya
dan seseorang yang berilmu tidak akan mengamalkan ilmunya melainkan jika dia takut
terhadap-Nya. Sebagaimana perkataan Ali bin AbiThalib radhiyallahu ’anhu, “Ilmu
memanggil untuk diamalkan. Jika panggilannya dipenuhi, niscaya ilmu itu akan tetap
ada. Namun, jika tidak diamalkan, ilmu akan hilang.” Orang yang tidak mengamalkan
ilmunya, akan gagal dalam proses belajarnya, dan ilmunya tidak akan membawa berkah.
Bahkan, pada hari Kiamat nanti, seorang ulama yang tidak mengamalkan ilmunya,
akan menjadi orang yang pertama kali diazab dan dimasukan ke neraka sebelum
para penyembah berhala.
Penulis: Irwan Nuryana Kurniawan, Pimpinan Redaksi Majalah Fahma
Post a Comment