Secangkir Kopi Remaja Kita




Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Selama puluhan tahun kita diajari bahwa kopi baik adalah kopi yang apabila diseduh menghasilkan warna hitam pekat. Seduhan kopi yang sempurna justru tidak ada kremanya sama sekali. Berkali-kali saya menjumpai orang yang mengira krema sebagai kopi jelek yang mengambang. Tidak bisa larut. Itu sebabnya mereka segera membuangnya. Mereka baru yakin setelah mencoba merasakan bahwa krema itu bukan produk gagal, bukan pula perkecualian. Kadang saya sengaja memberi perbandingan, yakni menyeduhkan kopi sebaik yang saya bisa dan menyiapkan seduhan lain dalam jumlah lebih sedikit dengan suhu air yang jauh dari seharusnya. Mengapa? Karena pada kondisi air yang kurang panas, kopi tidak berproses dengan sempurna, tidak larut dengan baik dan menyisakan banyak serbuk yang mengambang tak larut-larut.

Ini tidak enak. Ini bukan krema. Kopi yang kurang matang karena suhu air tidak memadai, efektif untuk membuat perut kita segera kembung. Sempurnalah tragedi itu: rasanya tidak enak, jauh dari yang seharusnya, bikin sakit perut pula.

Mengapa ini terjadi? Karena kopi terbaik hanya dijual untuk konsumsi luar negeri. Selama berpuluh-puluh tahun kita hanya mengenal kopi afkiran atau yang lebih beruntung ketemu kopi kelas 4, 5 atau 6. Specialty nyaris tak dapat kita jumpai. Peaberry, longberry, dan kingberry sangat asing di telinga kita. Padahal deretan kopi terbaik tersebut yang paling unggul justru dari Indonesia.

Selama berpuluh tahun kita juga digempur oleh iklan yang lahir dari dunia industri, baik cetak maupun audio visual bahwa kopi terbaik yang sempurna adalah yang hitam pekat tanpa krema. Kadang dilengkapi dengan gambaran citarasa pahit yang macho.

Sulit mempercayai bahwa ada kopi yang tidak pahit. Citarasa fruity, atau seolah bercampur coklat dan susu, seolah hanya ada dalam mimpi. Padahal semua itu ada pada kopi kita; kopi Indonesia, yang murni tanpa campuran apa pun.

Seperti itu pula anggapan dan bahkan telah menjadi keyakinan yang mendekati tingkat iman tentang remaja. Seolah merupakan kutukan takdir yang harus terjadi bahwa setiap remaja secara mutlak harus mengalami keguncangan, masa badai, stress dan krisis identitas. Padahal yang normal itu justru jika mereka dapat memasuki masa remaja tanpa pernah mengalami krisis. Mereka yakin dengan jatidirinya, bahkan sebelum memasuki masa remaja. Mereka memiliki komitmen yang kuat sehingga bersungguh-sungguh terhadap apa yang diyakini dan dicita-citakan. Ini semua bukan hanya berkemungkinan ada, bahkan justru jika menilik sejarah maupun riset tentang hal ini, remaja yang mengalami krisis tidak sampai 20% atau maksimal hanya 20% saja. Bahkan ketika G. Stanley Hall menyatakan bahwa remaja merupakan masa (yang mengharuskan remaja mengalami) badai, keguncangan dan krisis identitas, penelitiannya sendiri justru menunjukkan bahwa yang mengalami krisis sebenarnya tidak sampai 20%. Tetapi aneh sungguh absurd bahwa teori yang tidak didukung data ini justru diyakini. Hall menulis asumsi yang kemudian diyakini oleh kalangan psikologi sebagai teori yang sepenuhnya benar ini dalam bukunya yang berjudul Adolescence (1904).

Lebih sempurna lagi jika kita akhirnya mengimani bahwa nakal di usia remaja merupakan hal yang sangat wajar dan bahkan sudah seharusnya demikian karena mereka sedang mencari identitas diri, mengalami krisis dan menghadapi guncangan serta badai.

Upps!!!

Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Foto: google
Powered by Blogger.
close