Empati dalam Menasehati Anak
Oleh: Adi
Sulistama
Percakapan 1:
“Bunda, tadi
pulpenku hilang lagi.....,”
“Tuh kan, Bunda kan udah sering bilang, makanya kalau udah pakai disimpan yang benar...!”
“Tuh kan, Bunda kan udah sering bilang, makanya kalau udah pakai disimpan yang benar...!”
Percakapan 2,
“Bun, tadi pulpenku hilang lagi...,”.
“Kamu kesal ya pulpennya kok bisa hilang lagi”?
“Iya., kesel. Padahal itu hadiah dari ayah...“
“Hmm, emang sedih ya kalau kehilangan barang kesayangan”
“Iya.. huhu“
“Hmm, harus bagaimana ya biar pulpennya gak bisa diambil orang lagi?”
“Hmm, langsung masukkan ke dalam tas kalau udah selesai dipakai”
“Bagus!”
“Seperti yang sering Bunda ingatkan ke aku kan?”
___
“Bun, tadi pulpenku hilang lagi...,”.
“Kamu kesal ya pulpennya kok bisa hilang lagi”?
“Iya., kesel. Padahal itu hadiah dari ayah...“
“Hmm, emang sedih ya kalau kehilangan barang kesayangan”
“Iya.. huhu“
“Hmm, harus bagaimana ya biar pulpennya gak bisa diambil orang lagi?”
“Hmm, langsung masukkan ke dalam tas kalau udah selesai dipakai”
“Bagus!”
“Seperti yang sering Bunda ingatkan ke aku kan?”
___
Apa yang bisa kita
petik dari dua percakapan di atas? Percakapan yang awalnya sama, namun
endingnya jauh berbeda. Pada percakapan pertama, di mana saat anak berbicara
namun ibu langsung menyanggah dan tidak berusaha memahami lebih dulu bagaimana
perasaan anak. Sedangkan pada percakapan kedua, di mana ibu berusaha memandang
dari sudut pandang anak. Apa yang ia rasakan? Kemudian menerima dan mengizinkan
anak untuk mengekspresikan perasaannya terlebih dahulu.
Seringnya memang
kita, para orangtua menggunakan kaca mata sendiri, memandang segala hal dari
sudut pandang sendiri dan kurang peduli apa sebenarnya yang anak kita
rasakan/pikirkan dari sudut pandangnya. Padahal anak juga manusia, yang punya
rasa, punya hati, punya pikirannya sendiri.
Apa yang terjadi
kalau kita terus menerus memandang dari kaca mata sendiri tanpa mau peduli apa
yang dipikirkan dan dirasakan anak? Lama-lama, anak jadi enggan lagi bicara ke
orangtua, memendam perasaannya sendiri, atau bahkan bisa sampai mematikan perasaannya
karena merasa selalu ditolak perasaannya.
Bila buah hati Anda
melakukan suatu kesalahan, Anda tidak boleh langsung terpancing emosi. Pastikan
Anda memahami masalah yang terjadi dengan seksama. Karena terkadang kesalahan
kecil bisa berubah menjadi besar hanya karena ada pihak yang kurang bisa
mengendalikan emosi.
Saat anak
melakukan kesalahan, tentu ada semacam gejolak emosi yang dialami anak,
misalnya anak menjadi merasa bersalah, merasa takut, atau pun merasa cemas.
Bila Anda dalam keadaan tenang atau tidak marah, pasti akan lebih mudah pula
saat menenangkan anak. Saat anak dalam keadaan tenang, ia akan lebih mudah
menceritakan kejadian ataupun kesalahan yang baru saja ia lakukan. Dalam
keadaan tenang, anak bisa menjadi lebih terbuka dan jujur dalam menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Bila Anda dalam keadaan marah dan anak seakan berada
di bawah ancaman, maka anak bisa menjadi lebih tertutup, atau bahkan ia akan
membuat suatu kebohongan karena rasa takut akan mendapatkan bentakan maupun
hukuman.
Tidak mudah memang
untuk bersikap lembut pada anak, di saat anak berbuat kesalahan namun mereka
tidak menunjukkan rasa bersalah. Malah terkadang anak berbuat sesuatu yang
lebih menjengkelkan lagi, misalnya dengan memasang wajah cemberut. Sebagai
orang yang lebih dewasa, kita harus bisa mengontrol diri dan tetap bersikap lembut
kepada mereka. Jangan memaksakan diri berbicara pada mereka bila kita sendiri
masih sulit mengontrol emosi. Hal yang perlu tertanam di dalam pikiran kita
adalah mereka masih anak-anak, masih perlu banyak belajar, dan maish banyak
melakukan kesalahan secara tidak sengaja. Bila hati Anda dalam keadaan tenang,
maka kata-kata yang keluar dari mulut Anda pun akan menjadi lebih positif. Anda
juga lebih bisa mengontrol diri dalam memilih kata, sehingga bisa menghindari
kata-kata yang negatif dan kasar. Bila kata-kata yang keluar dari mulut Anda
adalah kata-kata yang baik, dan nada yang Anda gunakan adalah nada yang stabil
(tidak membentak), maka anak pun akan lebih bisa menerima nasihat-nasihat Anda
dengan baik dan hati yang tulus.
Bila Anda sudah
memahami duduk perkara yang sebenarnya, maka biasanya anak akan cenderung lebih
bisa mendengar nasihat-nasihat Anda. Berbeda bila Anda dalam keadaan marah. Ia
akan dirundung rasa takut dan cemas, sehingga hal ini akan mengurangi
konsentrasinya dalam mendengarkan nasihat Anda. Bahka bisa saja nasihat-nasihat
yang Anda berikan bisa berlalu sia-sia, karena apa yang Anda nasihatkan tidak
meresap di dalam hati anak.
Bila Anda terbiasa
menyelesaikan permasalahan dengan baik (tanpa membentak maupun marah-marah),
maka hal ini akan menjadi suatu pelajaran yang penting dan baik bagi anak. Anak
akan meneladani Anda, khususnya dalam hal cara menyelesaikan suatu
permasalahan. Anak akan menjadi pribadi yang lebih sabar dan berkepala dingin
dalam menyelesaikan suatu permasalahan, terutama saat ia mengalami konflik
dengan temannya.
Penulis : Adi Sulistama, Pemerhati dunia
pendidikan
Foto Ilustrasi : http://www.ummi-online.com
Post a Comment