Republik Medsos


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Aplikasi itu bernama Whatsapp. Sekarang dipakai lebih dari 1 miliar manusia di muka bumi yang meliputi 180 negara. Pada awalnya, Whatsapp hanya dirancang untuk keperluan texting (mengirim pesan tulisan). Bukan untuk menelepon. Melalui WA, orang dapat saling berkirim pesan yang sangat panjang, bisa saling menimpali dan tidak harus ada sinyal selular. Yang penting dapat mengakses internet, melalui Wi-Fi misalnya, kita dapat mengirim dan menerima pesan WA. Ini jauh lebih memudahkan dibandingkan SMS yang harus menggunakan jaringan selular, sehingga begitu berada di suatu daerah yang sulit sinyal, tidak dapat lagi mengirim SMS. Sangat berbeda dengan WA. Nomor kita tetap muncul apa adanya, tetapi kita tetap dapat mengirimkan pesan bahkan pada saat nomor tersebut sedang tidak aktif, semisal ketika berada di luar negeri.

Pengguna WA semakin dimanjakan ketika banyak area publik menyediakan fasilitas Wi-Fi. Bahkan beberapa maskapai penerbangan pun sekarang menyiapkan layanan akses Wi-Fi di udara. Cukup beli paket data yang murah, kita sudah dapat mengirim pesan sepuasnya. Pakai SMS? Harus keluar uang sesuai SMS yang kita kirim. Tidak jarang, pemakaian SMS terasa sangat boros pada saat kita sedang roaming di negara lain.

Tetapi... Akses internet tidak selalu mudah. Di beberapa daerah, sinyal selular sulit didapat, kecepatan internet luar biasa lambat atau bahkan tidak tersedia sama sekali, sementara Wi-Fi pun masih sangat langka. Di Indonesia, banyak kota yang seperti itu.

Ada kemudahan, tetapi ada nalar dan “hukum” tersendiri pada saat kita menggunakan media sosial dengan fungsi utama sebagai penyampai pesan. Tidak adanya tatap muka secara langsung menjadikan orang lain tidak mengerti keadaan kita, kesibukan kita dan situasi yang sedang kita hadapi. Orang tidak ambil pusing ketika dia melihat kita mengirim pesan jam 12:00 hari Jum’at, padahal waktu setempat saat kita mengirim WA sudah jam 14:00. Sebagian orang langsung menyimpulkan dengan sikap miring tanpa merasa perlu tabayyun, “Nggak beres nih orang, jam 12:00 masih sibuk WA. Apa nggak shalat Jum’at?” Ini karena waktu pengiriman yang tampil di gadget sesuai dengan waktu penerima pesan, bukan waktu pengirim pesan. Padahal andaikan zona waktunya sama pun, boleh jadi seseorang tersebut sedang melakukan safar (perjalanan) sehingga sebagai musafir dia boleh melakukan shalat jamak Dzuhur-Ashar. Bukan shalat Jum’at.

Ini hanya salah satu contoh yang mudah. Ketika orang mengirim WA dan melihat ada tanda centang dua warna hijau yang menunjukkan pesan sudah dibaca, emosi bisa mendidih manakala pesan tidak segera memperoleh balasan. Padahal sangat banyak sebab seseorang tidak dapat menanggapi dengan segera. Pesan yang memerlukan balasan panjang, tidak bisa segera memperoleh balasan ketika seseorang hendak mengajar misalnya. Pembahasan panjang perlu pemahaman masalah, sebelum memberi tanggapan. Tetapi betapa sering orang membayangkan seolah kita dapat menjawab dengan sangat mudah, tidak ada kesibukan apa pun sehingga kita dapat langsung menanggapi saat itu, dan sinyal selalu lancar jaya.

Sejumlah konflik perkawinan maupun pertalian persahabatan pun dapat bermasalah karena Whatsapp. Ada sindrom yang disebut sebagai “blue ticks”, yakni seseorang merasa diabaikan, tidak dipedulikan, bahkan direndahkan karena tidak segera memperoleh tanggapan dari orang lain, padahal sudah ada tanda centang dua warna hijau di WA yang menunjukkan pesan sudah dibaca. Pertengkaran hingga mengarah ke perceraian serta putusnya hubungan persahabatan, salah satunya dipicu oleh blue ticks ini. Makin lama jarak responsnya, makin memicu perasaan tidak dipedulikan. Makin ingin segera ditanggapi, makin mudah memantik emosi marah dan kecewa. Padahal sangat banyak sebab yang menjadikan seseorang sangat wajar jika tidak dapat segera menanggapi; salah satunya karena percakapan kita sudah tenggelam oleh berbagai pesan lain. Sementara media sosial termasuk WA, cenderung memiliki rentang perhatian pendek, khususnya jika segera bermunculan pesan lain.

Pesan yang sangat ringkas juga rawan memicu kesalahpahaman dan konflik suami-istri. Emoticon itu bermanfaat untuk menjelaskan maksud kita pada saat sama-sama tenang dan santai. Tetapi emoticon tersenyum pun bisa dimaknai mengejek manakala pesan kita begitu ringkas, di saat emosi kita cenderung panas.

Sumber masalah lain yang banyak memicu rasa dongkol adalah “The Last Seen Time” (LST) alias saat terakhir pesan dilihat. LST menunjukkan jam 03:00, tetapi mengapa pesan saya yang masuk pada jam 01:30 tidak dibaca? Orang yang senantiasa melapangkan diri untuk berprasangka baiklah yang tidak mudah baper.

Sekedar catatan pribadi: saya sendiri sering kesulitan menjawab WA dengan segera. Ada sekitar 70 group, meskipun yang aktif kurang dari 10%. Sudah banyak left, tetapi banyak juga yang memasukkan ke group lain. Pesan pribadi juga sangat banyak. Kalau pesan tidak segera dijawab, sebaiknya Anda berkirim pesan lagi. Kadang WA saya terima saat saya mau naik pesawat; saya lihat sejenak (kadang belum sempat membacanya) dan ketika turun pesawat segera berbincang dengan panitia. Nggak elok kan kalau saat diajak berbicara justru asyik WA-an terus?

Adakalanya, SMS lebih baik daripada pesan melalui WA.||

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim, Pakar Parenting dan Penulis Buku

Foto Ilustrasi : /www.arah.com
Powered by Blogger.
close