Untung Anaknya Peduli
Oleh: Prof. Dr. Ir.
Indarto, D.E.A.
Dalam sebuah perjalanan naik kereta api, saya mengobrol
dengan seorang bapak yang sama-sama naik dari Yogya. Beliau menceritakan
putranya yang saat itu mulai kuliah di kota lain, sebuah kota yang kata orang kehidupannya
“lebih modern”.
Seperti orangtua pada umumnya, bapak tadi bersama istrinya
juga berusaha mencarikan tempat kos yang bisa membuat anaknya nyaman, dan yang sekaligus
bisa bersosialisasi. Pilihan jatuh pada sebuah rumah dengan enam kamar, ada
dapur, ruang makan dan ruang tamu. Harapannya sesama penghuni ada tempat untuk
berinteraksi. Mereka tidak ingin anaknya hanya menjadi kutu buku, tahunya
hanya belajar dan belajar. Mereka ingin agar putranya masih berkesempatan untuk
menimba berbagai keterampilan
hidup, apalagi kalau mereka bisa bergaul dengan tetangga kos. Untuk ini semua, mereka
harus membayar lebih mahal.
Yang terjadi jauh dari harapan. Belum ada sebulan, putranya sudah
minta izin
untuk pindah. Wajar kalau orangtuanya kaget, karena merasa sudah memilih kos
dengan berbagai pertimbangan dan juga sudah mengeluarkan biaya mahal. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi,
si bapak dan istri pergi menengok putranya, dan sengaja tidak menginap di hotel
tapi di kos.
Sesampainya di kos, menjelang sore mereka berdua duduk di
ruang tamu. Selang beberapa saat, masuk seseorang yang dilihat dari pakaian dan
penampilannya, mahasiswa ini pasti anaknya orang kaya. Saat melewati ruang
tamu, jelas sekali dia melihat ada dua orangtua yang sedang duduk, namun dia
lewat begitu saja acuh tak acuh, tanpa menyapa ataupun tersenyum. Padahal pasangan
suami istri tadi sudah siap untuk menyapa. Kira-kira selang setengah jam, masuk
lagi dua anak muda laki-laki dan perempuan. Seperti sebelumnya, tanpa menyapa, langsung
masuk kamar tanpa mempedulikan sekelilingnya. Cukup dari dua kejadian tersebut,
suami-istri sepakat untuk memindahkan putranya, meskipun harus kehilangan uang
kontrak yang sudah dibayarkan.
Untuk mencari tempat kos yang baru, mereka lebih hati-hati dan
menyarankan kepada putranya agar minta tolong kepada temannya yang sudah
dikenal berkarakter baik. Memang sudah rejekinya si anak, di kos temannya masih
ada satu kamar kosong, dengan kondisi fasilitas yang hampir sama, sewanya jauh
lebih murah, hanya tempatnya agak masuk ke dalam.
Kedua orangtuanya bersyukur karena putranya sudah menemukan
tempat kos baru. Mereka semakin bersyukur ketika datang kembali untuk membantu
putranya pindahan dan bermalam di tempat kos tersebut. Sebetulnya putranya
tidak minta bantuan, namun mereka tidak tega melihat kerepotan putranya yang
harus mengurus pindahan di tengah-tengah ujian tengah semester.
Empat mahasiswa penghuni kos itu, semuanya baik dan ramah. Kedua
orangtua itu semakin tenang ketika pagi harinya, salah satu temannya mengetuk pintu kamar
untuk diajak ke masjid begitu terdengar suara adzan subuh. Selain itu, rasa
haru yang luar biasa juga muncul saat para penghuni kos membuatkan nasi goreng
dengan telur
dadar yang dipotong tipis-tipis untuk sarapan suami istri itu. Alhamdulillah Allah Ta’Ala telah
mengganti dengan kos lain seperti yang diharapkan.
Sepanjang perjalanan pulang ke Yogya, suami-istri itu tiada
henti-hentinya mengucapkan syukur atas segala upaya yang dulu dilakukan dalam rangka
memberikan pendidikan agama yang kuat terhadap putranya, termasuk menanamkan pentingnya
kepedulian terhadap lingkungan. Seandainya dulu mereka tidak mendidik tentang
kepedulian terhadap orang lain, hanya peduli pada diri sendiri, maka si anak
akan nyaman juga pada suasana kos yang pertama. Pasti dia akan kerasan karena
suasana tanpa kepedulian dan acuh tak acuh seperti itu bukan hal baru. Namun di
tempat kos tersebut bukan hanya sikap acuh tak acuh yang ada, tetapi juga
pergaulan bebas mereka.
Sekuat apapun jiwa anak muda, yang sebenarnya masih dalam
masa perkembangan, kemudian hidup di lingkungan seperti itu, jauh dari
pengawasan orangtua, akhirnya secara pelan akan terpengaruh juga. Sehingga bukan
kebahagiaan akherat yang didapatkan. Saran ini pula yang sering saya sampaikan
kepada para sahabat yang akan menyekolahkan putra-putrinya ketika baru saja
lulus SMU, ke negara
lain yang sekuler. Wallahu A’lam
Bishawab.
Penulis: Prof. Dr.
Ir. Indarto, D.E.A., Pemimpin Umum Majalah Fahma, Guru Besar Fakultas Teknik
Mesi UGM Yogyakarta
Foto Ilustrasi by google
Post a Comment