Adil, Tawadhu, dan Sabar
Oleh: Irwan
Nuryana Kurniawan, M.Psi.
Para guru akan menghadapi kondisi yang beragam terkait
murid-muridnya, baik itu berupa pembagian tugas maupun kewajiban. Jika memang
ada tugas-tugas tertentu yang memerlukan adanya kerja sama kelompok, atau
berupa sikap mengistimewakan sebagian dari sebagian yang lain, hendaknya guru
bersikap adil dalam memberikan nilai. Tidak ada ruang bagi seorang guru untuk
mencintai salah seorang dari mereka, dan bersikap mengistimewakan yang satu
dari yang lainnya, baik karena kedekatan, lebih mengenal, ataupun karena sebab
lainnya. Sikap seperti ini dapat dikategorikan sebagai sikap yang zhalim yang
tidak diridhai oleh Allah Ta’ala dan pelakunya diancam dengan siksaan.
Sikap tidak adil dari seorang guru, seperti
membeda-bedakan murid, akan berakibat timbulnya perpecahan, ketidakharmonisan,
permusuhan, dan kebencian di antara murid-muridnya. Selain itu,
sikap demikian juga akan mengakibatkan terciptanya jurang yang sangat
dalam antara seorang guru dan murid-murid yang diperlakukan berbeda dengan
murid lainnya. Seorang guru harus bersikap adil terhadap murid-muridnya agar
timbul rasa persaudaran dan kecintaan di antara mereka. Jika memang
memiliki kedekatan hubungan atau persahabatan dengan
salah seorang murid, guru hendaknya berusaha menutupinya dari pendengaran dan
penglihatan murid-murid yang lain.
Para guru juga perlu menunjukkan rendah hati dalam
berhubungan dan berinteraksi dengan murid-muridnya sebagai rasa cinta dan kasih
sayang, nasihat, kelembutan, penghormatan, perlindungan, dan pertolongan
terhadap mereka. Guru yang tawadhu tidak akan menemui banyak kesulitan untuk bertanya, berdiskusi, dan memberikan nasihat
atas apa yang terdapat dalam jiwa mereka. Sifat tawadhu dapat mengancurkan
batas yang menghalangi antara seorang guru dan murid-muridnya. Jika murid-murid
dekat dengan gurunya, maka mereka akan lebih mampu menyerap ilmu dengan baik.
Dengan kedekatan tersebut, guru dapat mengetahui permasalahan-permasalahan yang
sedang mereka hadapi dan hal-hal apa saja yang dapat menghambat tercapainya
tujuan pendidikan sebagaimana yang telah digariskan.
Sebaliknya, sikap sombong dapat menjauhkan para murid
menjauhi guru-gurunya. Para murid tidak akan merasa nyaman berada bersama guru
yang sombong. Mereka tidak akan mau menceritakan perasaan dan permasalahan yang
sedang dihadapinya. Mereka juga akan menolak untuk menerima ilmu dari gurunya.
Guru yang takabur akan mengalami banyak kesulitan untuk mengetahui sejauhmana
hasil yang telah dicapainya. Guru yang demikian juga tidak akan dapat
mengetahui apa saja yang ia butuhkan untuk mengevaluasi metode pendidikannya
dan menyusun kembali informasi untuk menerapkannya.
Para guru juga membutuhkan kesabaran dalam berinteraksi
dengan murid-murid yang memiliki karakter dan pola pikir yang berbeda-beda,
menghadapi problematika para murid yang juga terjadi secara terus menerus.
Ditambah lagi dengan tugas sebagai seorang guru yang harus melakukan kegiatan
pembaharuan, perbaikan, dan pengajaran yang terus-menerus setiap harinya.
Setelah mengajar, guru terkadang dikejutkan oleh salah seorang murid yang
mengatakan bahwa dirinya belum memahami seluruh pelajaran yang diterangkannya.
Seorang guru juga harus menerima pertanyaan-pertanyaan sepele yang tidak pada
tempatnya, termasuk jika harus menerima kata-kata yang tidak pantas dari salah
seorang muridnya. Seorang guru juga harus sabar melihat salah seorang muridnya
tertidur atau bercanda manakala ia sedang menjelaskan pelajaran.
Allah Azza wa Jalla
sangat memuji orang-orang yang mampu menahan amarah sekaligus memaafkan
kesalahan orang lain (QS Ali Imran [3]:134). Kesabaran dan kemampuan menahan
amarah membutuhkan latihan yang sangat panjang agar terpatri dalam diri
seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyarankan agar orang yang
sedang marah mengucapkan istiadzah, “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk,” dan berdiam
diri tidak mengatakan apa pun agar tidak berlaku berlebihan yang dapat menjerumuskan
ke dalam hal yang lebih membahayakan. Jika orang yang marah sedang berdiri,
maka hendaknya ia duduk. Jika amarahnya tidak juga meredam, maka hendaknya ia
berbaring. Orang yang sedang marah hendaknya mengambil air wudhu seperti wudhu
ketika mau mengerjakan shalat karena amarah itu dapat diredam dengan air.
Penulis: Irwan
Nuryana Kurniawan, M.Psi., Pemimpin Redaksi Majalah Fahma, Dosen Psikologi Universitas Islam
Indonesia
Foto Ilustrasi : google
Post a Comment