Tetap Rendah Hati


Oleh: Salim Abu Hanan

Dua puluh lima persen dari murid di kelas saya bercita-cita ingin menjadi guru. Guru menjadi pilihan terbanyak di antara pilihan profesi lain. Tidak saya tanyakan apa alasannya. Mungkin dengan berbagai alasan yang berbeda. Mereka adalah anak-anak yang masih kuat imajinasinya. Dengan imajinasinya mereka menjadikan guru sebagai idola.

Ketika saya masih duduk di bangku SD, di mata saya guru adalah orang yang serba tahu. Guru adalah tempat bertanya bagi murid-muridnya. Tentang apa saja. Pak Yafiru, wali kelas saya di kelas empat (di tahun 1975) adalah orang yang “sempurna”. Beliau santun, pintar, sehingga sangat disegani. Guru adalah orang yang didengar tutur katanya. Guru adalah orang yang dipatuhi nasehat-nasehatnya. Guru adalah orang yang dihormati di sekolah maupun di masyarakat. Sepertinya guru adalah orang yang tidak punya salah.

Inilah yang mengharuskan guru agar hati-hati. Tidak terperangkap pada sikap ujub. Yang mengiyakan pandangan anak terhadap dirinya. Yang merasa pantas jika ada pujian murid baginya.  Jadilah guru yang merasa kurang meski dihadapan murid. Maka beberapa adab guru berikut perlu direnungkan ketika berhadapan dengan murid.

Pertama, selalu meningkatkan ilmu dan pengetahuannya. Meskipun yang dihadapi adalah anak-anak. Tetapi ilmu terus berkembang dan pengetahuan selalu terbarukan. Jika guru tidak mengikutinya bisa-bisa ketinggalan oleh murid. Dalam hal ini, sebagai manausia biasa, tentu guru memiliki keterbatasan. Jika suatu saat anak murid mengajukan masalah yang belum dikuasainya, jangan merasa rendah, jangan malu dan takut untuk mengatakan “ saya tidak tahu” atau “ Wallahu ‘alam”. Kemudian menjanjikan kepada murid untuk memberi penjelasan di lain waktu.

Hal tersebut tidak akan menurunkan nama anda sebagai guru, tetapi justru menunjukkan tanggungjawabnya sebagai narasumber. Sebagaimana tersebut dalam satu riwayat hadis, bahwasanya nabi shalallahu ‘alaihi wasalam. Pernah ditanyai oleh seorang laki-laki, tentang negeri yang paling buruk, kemudian nabi menjawab, “ saya tidak tahu, saya akan tanyakan kepada Jibril ”, kemudian nabi menanyakan hal tersebut kepada Jibril ‘alaihissalam, Jibril menjawab “ saya tidak tahu, saya akan tanyakan kepada Allah ta’ala”.

Kedua, demokratis dalam berpendapat. Jangan merasa guru selalu benar. Biarkan dan suburkan ide-ide cemerlang anak kita. Jika anak mengkritisi pernyataan guru, dahulukan berpikir “mungkin pendapat anak lebih benar”. Jangan keburu memastikan ; itu pendapat anak-anak pasti belum tahu mana yang benar.  Jangan takut mencabut pernyataan kalau memang salah. Jangan malu mengakui pendapat anak yang lebih benar. Jangan bermain kalimat hanya untuk menutupi kesalahan sendiri. Kebenaran harus dijunjung tinggi, dihargai sekalipun kebenaran itu datang dari orang yang derajatnya lebih rendah.

Ketiga, memberi perhatian kepada semua dan bedakan karena tiap anak memang berbeda. Adil dalam berbagi perhatian. Adil tidak mesti sama  karena pemberian yang sama bukan berarti adil. Pastikan tiap anak mendapatkan porsi perhatian. Terlepas dari kontroversi ada-tidaknya anak “bodoh”, pada tiap kelas selalu ada anak yang lambat dalam belajar. Anak yang dikhawatirkan akan tertinggal. Terhadap anak yang demikian perlu perhatian yang lebih tanpa menghilangkan perhatiannya terhadap anak yang lain. Dibutuhkan teknik dan seni komunikasi tersendiri. Terhadap anak yang lambat, tetap berfikir positif bahwa mereka anak yang membutuhkan waktu dan cara yang berbeda dari temannya dalam menangkap hal yang sama.

Jangan sekali-kali mengatakan atau menyindir yang merendahkan mereka. Perkataan “kamu bodoh” atau “ kamu tidak bisa” bisa menjadi stempel permanen. Demikian juga menjadi penting untuk mengingatkan kepada anak, jangan katakan “Saya tidak bisa” tetapi katakan “Saya harus bisa” atau paling tidak “Saya belum bisa”

Keempat, akrab terhadap murid dan tetap dominan. Ada guru ingin membangun keakraban terhadap murid dengan bercanda dan bersendau-gura bersama murid. Ya, memang bisa menjadi akrab tetapi dapat menghilangkan dominansi guru terhadap murid karena sering main dan bercanda bersama sehingga murid lupa bahwa mereka adalah guru. Bukan salah murid jika kemudian murid menghadapi guru tersebut sebagaimana menghadapi temannya. Yang perkataannya bisa dipatuhi bisa juga diabaikan. Maka kerugian bagi guru karena akan kehilangan wibawa. Dekati murid dan tetaplah sebagai guru.

Penulis: Salim Abu Hanan, Kepala Madin Saqura Sleman

Foto Ilustrasi: google
Powered by Blogger.
close