Biarkan Anak Berani!
Oleh : Dwi
Lestari Wahyuningsih
Pertengahan
Ramadhan yang lalu, suami saya mendampingi kegiatan Mabit for Kids yang diadakan sebuah organisasi remaja masjid yang
berada di dekat tempat tinggal kami. Peserta berjumlah sekitar 70 anak, yang
dibagi dalam beberapa grup. Salah satu rangkaian acara mabit tersebut adalah
jurit malam, yakni jalan-jalan keliling kampung pada malam hari seusai shalat
tarawih. Di tengah rute jurit malam tersebut, terdapat beberapa pos. Kebetulan
suami saya diminta berjaga di pos terakhir.
Karena
berada di pos terakhir, suami saya berinisiatif melakukan ‘inspeksi’
mengelilingi rute untuk memastikan situasi aman. Baru sampai pos pertama, suami
saya melihat ada beberapa orangtua yang menunggui anaknya, stand by dengan sepeda motornya tidak jauh dari pos. Suami saya
berhenti sejenak. Ketika rombongan anak-anak tersebut meninggalkan pos, para
orangtua tersebut bergegas menghidupkan mesin motor dan mengendarainya
pelan-pelan tidak jauh dari belakang sang anak.
Suami
saya segera kembali ke pos pemberangkatan untuk mengumumkan dengan segala
hormat agar orangtua tidak perlu mengikuti anaknya dalam jurit malam tersebut.
Setelah itu, suami saya melanjutkan inspeksi. Ternyata rombongan anak tersebut
sudah berada di pos kedua. Tidak jauh dari pos, para orangtua masih setia
menunggu.
Rombongan
pun berjalan meninggalkan pos kedua. Tidak lama kemudian, para orangtua yang
menunggui anaknya pun ikut bergegas, membuntuti dari belakang. Suami saya
segera mendekati salah satu dari orangtua tersebut dan mencoba mengingatkan
dengan cara yang sehalus mungkin.
“Pak,
mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat kami, mohon untuk kegiatan ini, biarkan
anak mandiri. Di sepanjang rute sudah ada kakak-kakak remaja masjid. InsyaAllah, keamanan anak-anak terjamin,”
begitu lebih kurang apa yang diucapkan suami saya kepada salah satu bapak yang
ikut membuntuti anaknya.
“Oh
ya, Pak. Terima kasih. Kalau begitu saya pulang saja ya, Pak. Titip anak-anak
saja ya, Pak. Terima kasih. Sudah ayo, tidak usah diikuti. Sudah ada yang
ngawasi kok!” Jawab
Bapak tersebut sambil mengajak orangtua
yang lain pulang. Alhamdulillah,
hingga acara selesai, sudah tidak ada lagi orangtua yang membuntuti
anak-anaknya.
Sebagai
orangtua, tentu ada perasaan khawatir dan cemas ketika melepas anak
berinteraksi ke dunia luar. Apalagi saat anak melakukan kegiatan yang
menantang, seperti outbond, jurit
malam, kemah, dan sebagainya. Hal ini tentu sangat
manusiawi. Akan tetapi, banyak orangtua yang tidak mampu mengelolanya dengan
baik. Mereka sampai rela membuntuti kegiatan outbond, kemah atau jurit malam anaknya. Maksud mereka baik, yakni
untuk memastikan anak aman. Akan tetapi apa yang dilakukan orangtua ini justru
menghambat perkembangan psikologis anak. Anak yang diawasi tersebut cenderung
merasa tidak bebas dalam mengeksplorasi kemampuannya.
Keberanian
sang anak juga tidak akan terlatih sebab dia merasa selalu dilindungi dan
diawasi oleh orangtuanya. Misalnya, saat jurit malam melewati jalanan yang
gelap. Anak yang diawasi orangtuanya dari belakang akan melangkah dengan tenang
karena dia tahu ada orangtuanya di belakang. Keberaniannya timbul bukan dari dirinya
sendiri, melainkan dari pengawasan orangtua. Berbeda jika keberanian anak
melewati jalan yang gelap tersebut bersumber dari dalam dirinya. Ada atau tidak
ada orangtua, dia pasti tidak akan takut untuk melewati jalan yang gelap. Dalam
hal-hal yang kecil, anak juga akan terlatih untuk berani, misalnya ke kamar
mandi sendiri, mengambil makan atau minum sendiri, dan sebagainya.
Dan
yang paling penting tentu adalah penanaman tauhid, bahwa tidak ada yang harus
ditakuti selain Allah Ta’ala. Tidak
ada yang perlu ditakuti dari jalan yang gelap sebab ada Allah Ta’ala yang selalu menjaga kita. Semoga
kita menjadi orangtua yang senantiasa amanah dalam mendidik anak. Amin.
Penulis : Dwi Lestari Wahyuningsih,
Yogyakarta
Foto: https://pixabay.com/p-1149671/?no_redirect
Post a Comment