Agar Kala Berbicara Tetap Mulia
Oleh:
R. Bagus Priyosembodo
Pembicaraan
adalah kalam. Dari akar kata yang sama dengan kata berarti luka. Perkataan bisa
menghasilkan luka. Yang pedih perih. Seringkali goresan luka dari lidah lebih sakit
daripada sayatan pisau.
Hendaknya
semua pembicaraan selalu dalam kebaikan. Tidak sebagaimana orang orang jelek. Tidak
ada kebaikan pada kebanyakan pembicaraan mereka. Kebaikan perkataan itu
terletak pada kalam orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat
ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.
Adapun
orang yang baik imannya adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan
dan perkataan yang tiada berguna. Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari
akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.
Hendaknya
pembicaraan dengan suara yang dapat didengar. Tidak terlalu keras dan tidak
pula terlalu pelan. Ungkapannya jelas dapat dipahami oleh semua orang dan tidak
dibuat-buat atau dipaksa-paksakan. Begitulah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu
perkataan yang jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.
Sebagaimana dituturkan ibunda Aisyah.
Bagian
dari kebaikan kita adalah tidak membicarakan segala yang tidak berguna. Termasuk
kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna
baginya.
Kedewasaan
berbicara juga nampak pada tidak membicarakan semua apa yang didengar. Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda: “Cukuplah menjadi suatu dosa
bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar”.
(HR. Muslim)
Tidaklah
bisa kita mempertahankan kewibawaan dan manisnya hubungan kala kita tidak mampu
menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kamu berada di pihak
yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Sungguh akan
beruntung orang yang mampu memperbuatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman
surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia
benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang
meninggalkan dusta sekalipun bercanda”.
Seorang
mu’min yang baik itu bukanlah pencela
atau pengutuk atau yang keji pembicaraannya. Karena jiwanya sehat. Ia mampu
mengendalikan meski merasa jengkel sekali.
Berbicara
yang bagus juga menghindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam
berbicara. Dan sesungguhnya manusia yang paling Rasulullah tidak sukai dan yang
paling jauh dari beliau di hari kiamat kelak adalah orang yang banyak bicara,
orang yang berpura-pura fasih dan orang-orang yang mutafaihiqun”. Para shahabat bertanya: Wahai Rasulllah, apa arti
mutafaihiqun? Nabi menjawab: “Orang-orang yang sombong”.
Tentu
saja pembicaraan yang kotor sekali adalah perbuatan menggunjing (ghibah) dan
mengadu domba. Hal ini karena menjijikkan dan merusak.
Juga
akan membikin kesal dan menjauh bila kesukaan tidak mendengarkan pembicaraan
orang lain dengan baik dan memotongnya. Menganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.
Tidaklah
mungkin menjadi nyaman bila memonopoli pembicaraan. Berikanlah kesempatan
kepada orang lain untuk berbicara. Menghindari perkataan kasar, keras dan
ucapan yang menyakitkan perasaan dan tidak mencari-cari kesalahan dan
kekeliruan pembicaraan orang lain, karena hal tersebut dapat mennyebabkan
kebencian, permusuhan dan pertentangan. Menghindari sikap mengejek,
memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara.
Saudara,
berbicara yang dilepas dari adabnya, pasti akan kehilangan banyak manfaatnya. Merenggangkan
hubungan manis yang telah ada. Mengobarkan perseteruan. Serta menjauhkan dari
cinta Allah Ta’ala
Pada
asalnya kita adalah diam. Maka tidaklah pantas berkata kata kecuali
menyertainya dengan adab. Agar terpastikan kehormatan kita juga terjaga.
Kewibawaan tidak ternoda. Serta persaudaraan akan terus terlestarikan.
Penulis
: R. Bagus Priyosembodo, Guru Mengaji, Penulis Kajian Utama Majalah
Fahma
Post a Comment