Guru Jarang Menulis? Rugi!



Oleh : Galih Setiawan

Sepanjang saya mengawal tugas redaksi di Majalah Fahma, saya acapkali bertemu dengan banyak guru-guru pembaca Fahma. Ada di antara mereka yang bertanya, bagaimana cara mengirim artikel di Fahma, ada juga yang bercerita tentang kesulitan saat menulis, baik karena kendala waktu maupun ide. Padahal ide itu ada di mana saja. Kalau bicara soal waktu, menulis pun bisa di mana saja, tidak harus duduk di depan komputer atau laptop. Bisa dengan catatan di buku, atau di telepon pintar yang sering kita genggam. Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang kebetulan membersamai seorang ustadz muda dari Yogya yang terkenal dengan buku-buku best sellernya. Sang ustadz ini cukup aktif menulis di fanpage facebooknya. Awalnya, teman saya ini mengira sang ustadz memiliki waktu khusus untuk menulis. Namun nyatanya tidak, ustadz ini menulis sambil lalu saja. Ketika di bandara, sedang istirahat, menulis. Kala di kamar, menulis juga. Tulisannya pun hanya mengetik di hp, bukan di komputer.

Sungguh besar sesungguhnya manfaat dari menulis. Banyak guru yang tidak memahami apa manfaat dari menulis. Hambatan yang paling sering muncul seperti kurangnya kemampuan atau keinginan untuk menulis. Padahal jika guru mau menulis karya atau tulisan ilmiah, banyak sekali manfaat yang didapat.

Saat ini menulis bagi guru bukan lagi sebatas kewajiban, tetapi menjadi kebutuhan mendesak. Sebab berdasarkan data Depdiknas, banyak guru terhambat kenaikan pangkat karena keterbatasan menulis. Ada banyak manfaat menulis yang patut kita ketahui, terutama bagi seorang guru. Menulis adalah media pengembangan kemampuan guru dalam memecahkan masalah di kelas atau lingkungan sekolah. Menulis juga bisa menjadi media menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran tentang berbagai hal, khususnya yang berkaitan tentang pendidikan.

Selain itu, menulis bisa menjadi nilai plus bagi guru untuk mempermudah kenaikan pangkat, baik sekolah negeri maupun swasta. Menulis juga dapat mempermudah guru mengembangkan materi bahan dan pengetahuan yang ia miliki. Jika sudah mahir menulis maka kita bisa bekerja sampingan menjadi penulis buku. Banyak penerbit di seluruh Indonesia yang memberi porsi yang sangat besar pada para guru. Mengapa? Sebab isu dan permasalahan di dunia pendidikan sangat dinamis. Maka pembahasannya pasti akan sangat bervariasi. Belum lagi dengan metode-metode pendidikan yang kini berkembang.

Tidak hanya di penerbitan buku. Media cetak seperti koran dan majalah juga memiliki halaman khusus untuk diisi oleh para guru. Artikel opini atau masalah pendidikan bisa menjadi target untuk menuangkan ide dan kreatitas guru di bidang kepenulisan. Dan satu hal lain yang pastinya menarik, meski tentunya jangan sampai merusak niat kita, yakni setiap tulisan yang dimuat di koran, majalah ataupun diterbitkan menjadi buku pasti akan mendabat honor. Besaran honor sendiri bervariasi, tergantung kebijakan masing-masing media. Sedangkan jika karya kita diterbitkan menjadi buku, maka besaran honor tergantung kesepakatan, apakah beli putus atau royalti.

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip perkataan Dahlan Iskan. “Menjadi seorang penulis tidak sulit. Seseorang hanya perlu terus berlatih dan berlatih seperti menaiki sepeda maka lambat laun akan bisa dan terbiasa. Ia menambahkan, untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bagus, seseorang harus terus menulis tanpa menunggu tulisan bagus atau jelek.”

Kemudian Dahlan Iskan menjelaskan manfaat menjadi seorang penulis dan kelebihan penulis dari kebanyakan orang. “Cara berpikir penulis itu tertib, karena harus menulis sesuatu dan dituangkan dalam tulisan. Jika anda menulis ini membantu berpikir secara terstruktur, karena menulis menstrukturkan cara berpikir. Selain itu juga, menulis membantu cara membuat keputusan dan itulah calon pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik yang bisa membuat keputusan. Pemimpin yang tidak bisa membuat keputusan, adalah pemimpin yang tidak baik.”

Begitulah belajar menulis, sekalipun ada kesalahan dan kesulitan namun jangan sampai berhenti berlatih dan teruslah berlatih maka niscaya kita akan dapat menulis dengan lincah dan tidak ada lagi alasan tidak ada ide maupun tak ada waktu.

Penulis : Galih Setiawan, Sekretaris Redaksi Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close