Katakan Yang Baik Atau Diamlah!



Oleh : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.

Sebagai seorang muslim, hendaknya kita menjaga lidah kita. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya seseorang berbicara dengan perkataan yang membuat tertawa teman-teman duduknya, tetapi itu bisa membuatnya jatuh dalam kebinasaan lebih jauh daripada bintang tsuroiya.” (HR Imam Ahmad). Sebagi pelajar Muslim yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Hari Akhir, maka katakanlah yang baik atau diamlah (HR Bukhari).

Perkataan yang baik merupakan salah satu pintu sedekah (HR Bukhari dan Muslim), bahkan dapat menjauhkan pemiliknya dari api neraka. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan tentang neraka, lalu beliau memalingkan wajahnya karena takut, lalu memohon perlindungan darinya, kemudian beliau menyebutkan lagi tentang neraka, lalu beliau kembali memalingkan wajahnya karena takut, lalu memohon perlindungan darinya, kemudian beliau bersabda, ‘Takutlah kalian kepada neraka walau dengan bersedekah setengah butir kurma. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan sesuatu untuk disedekahkan, hendaklah dengan perkataan yang baik.’”

Termasuk ketika kita hendak bertanya kepada guru, teman, atau siapa pun. bertanyalah dengan adab yang baik. Misalnya dengan mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala merahmati Bapak/Ibu/Anda. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Anda tentang masalah ini?”. Bisa juga menggunakan bahasa yang lain asal tetap sopan dan lembut. Lalu tunggu jawabannya. Dengarkan dengan baik. Pahami jawabannya dengan baik. Jangan malu untuk mengatakan, “Saya belum paham.”

Ada sebagian orang yang setelah mendengarkan jawaban dari gurunya, dia mengatakan di tengah-tengah pelajaran, “Tapi Pak Fulan mengatakan begini.” Ini adalah akhlak yang buruk karena itu berarti kita tidak mau menerima jawabannya dan juga berarti mengadu doma antar guru. Jika kita terpaksa harus mengatakan hal tersebut, jelaskanlah dalam bentuk pertanyaan, “Bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Anda jika ada seseorang yang berkata…” dan janganlah sebutkan nama orang yang berkata tersebut.

Sebagai seorang muslim, jauhilah perdebatan karena akan menjadi bencana, menimbulkan permusuhan, hanya ingin menang, yang penting menang, riya’ (dipuji), mencari kesalahan, sombong, dan membodohi orang yang memang miskin ilmu. Banyak berbicara adalah salah satu sebab kita terjatuh dalam dosa. Sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi bahwa Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya di antara kalian dariku pada Hari Kiamat adalah orang-orang yang banyak berbicara.”

Berbeda jauh dengan diskusi dalam mencari kebenaran. Diskusi jenis ini akan bisa menampakkan mana yang benar dan mana yang batil, mana yang kuat dan tidak, karena diskusinya didasari atas saling menasehati, kasih sayang, dan keinginan menyebarkan ilmu. Ciri-ciri dari diskusi ini adalah apabila sudah sampai pada sebuah kebenaran, dia menerimanya dan kembali kepada kebenaran tersebut, meskipun keberan tersebut ada pada mitra diskusinya. Kalau kebenaran sudah nampak, maka segeralah mengatakan, “Saya dengar dan saya akan menaatinya.

Sebagai muslim, kita harus waspada dari kemungkinan melakukan perbuatan ghibah/menggunjing orang (QS Al Hujurat:12).  Sebab-sebab yang bisa memicu munculnya ghibah: Pertama, melampiaskan rasa amarah. “Barangsiapa yang menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya, niscaya Allah Ta’ala memanggilnya di hadapan semua makhluk pada Hari Kiamat, hingga akhirnya Allah Ta’ala akan menyuruhnya memilih bidadari-bidadari bermata jeli mana yang dia suka.” (HR Abu Dawud)

Kedua, ingin menyelarasi dan berbasa-basi kepada teman-teman. “Barangsiapa yang mencari keridhaan manusia dengan mengabaikan kemurkaan Allah Ta’ala, niscaya Allah Ta’ala akan menyerahkannya kepada manusia.” (HR At Tirmidzi)

Ketiga, ingin mengangkat dirinya dengan merendahkan orang lain. Sadari selalu bahwa apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla itu lebih baik dan lebih abadi.

Keempat, main-main dan senda gurau. “Celakalah orang yang mengucapkan sesuatu lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa dengan sebab ucapannya tersebut. Celaka baginya, celaka baginya.” (HR Abu Dawud).

Kelima, kurang kerjaan karena banyaknya waktu kosong dari kegiatan.

Penulis : Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi., Dosen Psikologi Universitas Islam Indonesia, Pemimpin Redaksi Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close