Matinya Perjuangan

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Sejarah peradaban besar pada dasarnya adalah perjalanan hidup seorang manusia besar. Ia menciptakan perubahan bukan karena banyaknya harta yang dimiliki, atau kuatnya kekuasaan yang ia genggam. Tetapi ia menciptakan perubahan yang menggerakkan orang-orang di sekelilingnya oleh kuatnya jiwa, tajamnya pikiran, kokohnya hati, dan tingginya daya tahan berjuang dikarenakan besarnya cita-cita. Kerapkali, cita-cita besar itu bukan digerakkan oleh gemerlapnya dunia yang sekejap, tetapi oleh keyakinan yang menjadi ideologi perjuangan.

Orang-orang yang merintis jalan perjuangan, adalah mereka yang merelakan kenikmatan hidup demi meraih apa yang menjadi keyakinannya. Bukan karena mereka tidak pernah berhasrat pada kenikmatan, tetapi karena kenikmatan itu menjadi kecil dan tidak ada artinya dibanding cita-cita besar yang terpendam dalam jiwa.

Demi memperjuangkan keyakinan, mereka bersedia memilih jalan hidup yang tidak populer; mengawali perjuangan dengan menghadapi senyum sinis dan bahkan bila perlu–seperti halnya Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam—dianggap gila dalam arti yang sebenarnya. Sedemikian kuatnya tudingan itu, sampai-sampai Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

نٓ ۚ وَٱلْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ. مَآ أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍۢ. وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍۢ. وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍۢ. فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ. بِأَييِّكُمُ ٱلْمَفْتُونُ.

“Nuun, demi qalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat, siapa di antara kamu yang gila.” (QS. Al-Qalam: 1-6).

Orang-orang yang merintis jalan adalah mereka yang memiliki kelapangan hati untuk belajar, meskipun kepada yang lebih muda dan masih amat hijau. Mereka inilah yang memenuhi dadanya dengan kelapangan dan sekaligus kepedihan tatkala melihat saudaranya berkubang dalam keburukan.

Ketegaran jiwanya bertemu dengan kelembutan yang penuh kesantunan. Kematangan ilmunya bertemu dengan kehausan untuk belajar dan kesediaan untuk mendengar. Mereka ingin sekali mencicipkan kebenaran, bahkan kepada orang yang telah terjerumus dalam kesesatan.

Inilah yang menggerakkan para pendurhaka mendatangi majelis-majelisnya, dan bahkan mendatangi lututnya untuk bersimpuh. Inilah yang menyebabkan orang-orang yang keras hati menjadi luluh dan bahkan berbalik menjadi sahabat dalam berjuang dan penderitaan. Inilah yang membangkitkan semangat untuk berbenah sesudah mereka berputus asa atas banyaknya keburukan yang telah mereka perbuat. Ini pula yang menyebabkan satu negeri, satu kawasan, atau sekurangnya satu kampung mendapat kucuran barakah dari Allah; baik yang Ia turunkan dari langit maupun yang Ia munculkan dari bumi.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَـٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ

“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Maka bertebaranlah kebaikan di dalamnya. Setiap yang masuk di tempat itu akan merasakan kebaikan yang merata. Hingga zaman bertukar, masa berganti. Para perintis telah beranjak tua dan sesudah itu pergi. Sementara yang dulu menyertai perjuangan di samping kiri, kanan, atau belakang, kini telah menjadi yang dituakan. Anak-anak yang dulu bermain-main lucu, sekarang sedang menentukan warna zamannya. Atau…, mereka ditentukan oleh semangat zaman yang melingkupinya.

Inilah titik krusial yang kerapkali menjadi awal terhentinya perjuangan. Banyak jebakan pada masa ini. Peralihan dari generasi perintis kepada generasi kedua, tepatnya generasi yang menyertai pahit getirnya perintisan ketika sudah mulai berjalan, jika tidak berhati-hati bisa terjatuh pada tafrith atau ifrath (kebablasan). Bisa terjebak pada tasahul (memudah-mudahkan) yang berlebihan atau sebaliknya tasyaddud (menyulit-nyulitkan) yang melampaui batas. Bisa terperangkap pada sikap jumud yang anti perubahan dan sulit menerima masukan, atau sebaliknya berlebihan dalam menanggapi perubahan dan bahkan tercebur dalam arus perubahan itu sendiri.

Sikap jumud membuat kita sulit menerima nasihat yang disampaikan dengan penuh kasih sayang sekalipun (tawashau bil-marhamah). Dalam keadaan seperti ini, amru bil ma’ruf nahyu anil munkar bisa terhenti karena yang tua tidak bisa mendengar suara yang muda. Jika yang muda memiliki sikap takzim kepada yang tua, kebaikan insya Allah masih bertebaran di dalamnya.

Tetapi jika tidak segera disadari, situasi seperti ini dapat menyebabkan hilangnya sikap hormat dari yang muda kepada yang tua pada generasi berikutnya, yakni kelak ketika generasi ketiga memasuki masa dewasa, sementara generasi kedua menjalankan pola yang sama seperti yang pernah mereka jumpai. Mereka menjalankan pola yang sama, tetapi dengan penghayatan yang rendah atas apa yang seharusnya menjadi ruh perjuangan. Pada titik ini, generasi ketiga bisa berbalik menjadi berlebihan dalam menerima apapun yang datang dari luar, bahkan yang nyata-nyata bertentangan dengan nash Kitabullah. Alhasil, generasi ketiga justru menjadi perusak perjuangan generasi pertama. Na’udzubillahi min dzalik.

Apa yang salah sebenarnya? Banyak sebab yang bisa kita runut dan catat. Salah satunya adalah karena kita terjebak pada bentuk, lupa kepada yang prinsip. Atau sebaliknya, menyibukkan diri dengan prinsip tetapi mengabaikan bentuk. Kita tidak belajar secara utuh atas generasi terdahulu, sehingga lupa menyiapkan anak-anak memasuki masa depan. Bisa terjadi, kita bahkan tidak dapat membaca masa depan. Kita sibuk menjadi manusia masa lalu dan memaksa anak-anak untuk menjadi manusia masa lalu.

Di antara bentuk-bentuk pemaksaan adalah hilangnya kesediaan kita memahami anak-anak. Setiap kali ada masalah, kita rujukkan pada masa lalu, “Dulu bapak begini juga bisa.” Atau, “Ah, dulu orangtua kita tidak pakai macam-macam juga bisa berhasil.”

Kita lupa bahwa sekalipun prinsip-prinsip yang berjalan pada suatu zaman selalu sama, tetapi bentuknya bisa berubah. Kalau tidak disiapkan untuk menghadapi bentuk tantangan yang sesuai dengan zamannya, mereka bisa gagap mengantisipasi perubahan. Akibat berikutnya bisa tragis; mereka menjadi manusia kolot yang tidak memahami prinsip dengan baik dan tidak mampu memetakan bentuk persoalan yang sedang terjadi. Atau sebaliknya mereka kehilangan rasa hormat kepada yang tua sehingga berkata, “Ah, apa itu orangtua…! Gagasan mereka semuanya usang!”

Mereka tidak bisa membedakan mana yang tetap dan mana yang berubah, mana yang pasti dan mana yang praduga. Mereka memutlakkan apa yang ijtihadiyah, sehingga memunculkan generasi yang menisbikan semua perkara, bahkan yang jelas-jelas tetap dan mutlak. Dalam bentuk yang lebih ringan, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar, meskipun terhadap orang yang tidak memiliki kualifikasi. Atau sebaliknya, melahirkan generasi yang tertutup pikirannya, kaku sikapnya, dan beku gagasannya. Seakan-akan agama ini telah menutup pintu bagi ijtihad.

Di antara sebab-sebab tidak munculnya generasi yang tanggap terhadap perubahan zaman tanpa hanyut di dalamnya, adalah tidak sejalannya dakwah dan jihad dengan pendidikan dan penyiapan generasi. Dakwah berjalan tanpa perencanaan yang matang sehingga kehilangan visi dan kepekaan.

Pendidikan berjalan tanpa arah yang jelas dan “ruh” yang kuat, sehingga mudah terpengaruh oleh tepuk-tangan, pemberitaan di koran atau pujian orang-orang yang tulus maupun mereka yang menikam secara halus dengan memuji.

Kita mendidik anak-anak untuk kita lihat hasilnya hari ini. Bukan untuk mempersiapkan mereka menantang masa depan dengan mengokohkan prinsip yang kuat dalam diri anak. Akibatnya, gemerlapnya prestasi hari ini tidak memberi bekal apa-apa bagi mereka untuk menciptakan masa depan. Sebaliknya, mereka menjadi orang yang hanya menyongsong masa depan atau bahkan digilas oleh masa depan.

Teringatlah saya kepada ayat Allah: “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang Mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri.” (QS.  At-Taubah: 122).

Agar perjuangan tidak mati, atau terhenti justru oleh anak-anak kita sendiri, ada yang perlu kita renungkan dari ayat tadi. Ada yang perlu memikirkan anak-anak kita agar tidak hanya cemerlang prestasinya, lebih dari itu teguh dalam prinsip, kokoh dalam berjuang. Mereka tak mudah luntur oleh kalungan bunga yang menggiurkan.


Matinya Perjuangan Sebelum Berganti Generasi

Tetapi, matinya perjuangan tak selalu menunggu generasi ketiga. Kadang bahkan lebih cepat datangnya sehingga belum habis generasi pertama, perjuangan telah berakhir. Sebutannya masih ada, orang-orangnya juga masih dikenal. Tetapi enggan kaki melangkah ketika jarak yang harus ditempuh sudah cukup melelahkan, sementara tak ada yang menarik untuk disebut-sebut dengan penuh rasa kagum. Inilah masa ketika cinta kemasyhuran telah tertancap kuat dan kalungan bunga yang diberikan penuh kekaguman telah sedemikian berharga melebihi dakwah dan perjuangan itu sendiri.

Jika dulu memilih majelis lebih kecil yang untuk mencapainya membuat wajah dipenuhi debu disebabkan melihat di sana ada jalan hidayah pada kesungguhan orang-orangnya, menetapi majelis yang dihadiri sedikit orang karena kesungguhannya, bersabar terhadap pertanyaan dari orang-orang haus ilmu yang sulit memahami penjelasan; maka ketika hati ini telah berubah, panggung-panggung gemerlap penuh sorot cahaya akan menyilaukan sehingga melihat majelis-majelis kecil yang istiqamah sebagai ruang gelap yang tak menggairahkan.

Apa yang berubah? Jiwa kita. Kapan mulainya? Ketika cinta kemasyhuran bertahta dalam diri kita. Ada nasehat, cinta kemasyhuran itu induk segala keburukan. Wallahu a'lam bish-shawab.

Ketika itu telah mengakar kuat, memperjuangkan agar orang mendapatkan hidayah tak lagi manis dalam hati kita. Jangankan yang masih perlu dirayu penuh perjuangan agar mereka tertarik pada agama ini, menetapi majelis yang senantiasa merindui kehadiran kita pun tak lagi gurih rasanya di hati.

Pagi ini aku termangu, mengharapkan do'a dan nasehat dari para guru. Badan duduk dengan gagah, tetapi aku tak tahu keadaan hatiku saat ini. Masih adakah ruh perjuangan itu? Atau tenggelam oleh kerinduan pada tepuk tangan dan pujian orang?


Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Powered by Blogger.
close