Meneladani Keluarga Ali Bin Abi Thalib


Oleh : Muhammad Adam Mustaqim

Jika menilik jauh 14 abad silam, akan kita temukan sebuah keluarga berperangai bak mutiara. Jika mendapat rizki di hari itu, hari itu pula akan habis. Jika mengalami kepayahan, mereka tak pernah sekalipun mengeluh, berapa pun rizki yang diperoleh, mereka sangat pandai dalam mensyukurinya, baik dengan lisan, maupun perbuatan. Padahal perbendaharaan bumi telah Allah siapkan, namun mereka lebih memilih mengabaikan. Doa yang mustajab telah Allah jaminkan, namun mendo’akan orang lain lebih mereka harapkan.

Mereka adalah keluarga Rasulullah. Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 33 tentang keutamaan mereka:“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”.

Lihatlah bagaimana Allah mengistimewakan mereka dari keluarga yang lain. Dikisahkan dalam kitab Simtudduror (Untaian Mutiara), bahwa Rasulullah adalah orang yang sangat mencintai keluarganya, orang faqir, yatim, dan janda. Bila mereka mengundangnya dalam sebuah jamuan, beliau selalu memenuhinya, tanpa memilih bahwa yang mengundang adalah orang yang tak berada.

Kesederhanaan pun tampak pada keluarga Ali dalam menjalani hari-harinya. Beliau adalah seorang kuli pengangkut kurma, yang penghasilannya sebatas beberapa suap makanan untuk keluarganya. Bahkan, pernah suatu kali beliau pulang tanpa membawa sepeser uang pun, sehingga keluarganya hanya meminun air putih sepanjang hari. Walau demikian, bila hari itu mendapatkan rizki lebih, beliau selalu menyisihkan penghasilannya untuk si papah.

Suatu ketika putra beliau Hasan dan Husein mengalami sakit yang cukup lama, hingga beliau bernadzar, untuk  berpuasa selama tiga hari bila putranya sembuh. Singkat cerita, Hasan dan Huseinpun sembuh dari sakitnya, dan beliau memenuhi nadzar tersebut. Kala itu, beliau hanya memiliki sepotong roti gandum yang akan dibagi menjadi tiga bagaian, bagian pertama untuk berbuka di hari pertama, begitu seterusnya hingga tiga hari mendatang.

Saat menjelang berbuka, terdengar ketukan dibalik pintu rumah, segera Ali membukanya, ternyata seorang pengemis yang meminta sesuap makanan darinya. Dengan rasa iba, beliau memberikan roti tersebut kepada si pengemis itu, sehingga ia berbuka hanya dengan segelas air zam-zam.

Pada hari kedua, terdengar kembali ketukan dari balik pintu. Setelah dibuka, ternyata seorang faqir yang meminta sesuap makanan untuk mengganjal perutnya. Dengan rasa iba, Ali pun kembali memberikan roti tersebut kepada si faqir, sehingga ia kembali berbuka dengan segelas air zam-zam.

Pada hari ketiga, terdengan ketukan pintu yang ketiga kalinya, setelah dibuka, ternyata salah satu mujahid yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, dan meminta bekal kepada beliau, sehingga beliaupun memberikan roti yang terakhir kepadanya, dan iapun kembali berbuka hanya dengan segelas air zam-zam. Subhanallah..

Sahabat, lihatlah bagaimana perangai mereka yang hidup dalam kesederhanaan. Sangat jauh berbeda dengan realita kehidupan zaman ini, dimana predikat harta, seakan menjadi barometer seseorang dalam meraih kebahagiaan.

Selain itu, budaya konsumtif juga masih menjadi momok paling menakutkan. Lihatlah berbagai macam gempuran produk, baik luar, maupun dalam Negeri, dari makanan, hingga elektronik. Banyak dari mereka berdalih “inikan uang saya, jadi saya berhak dong membeli sesuatu sesuaka hati”. Memang benar, itu adalah uang pribadi, namun alangkah baiknya bila ia mampu mengontrol diri. Seharusnya ia sadar, mana kebutuhan, mana keinginan, jika kebutuhan, silahkan membeli sesuai kebutukan, namun jika sebatas keinginan, mungkin bisa difikir ulang, “untuk apa saya membeli, apa manfaatnya, dan adakah mudhorot bila membelinya”.

Maka dari itu, sudah seyogyanya sebagai orangtua, agar senantiasa menanamkan nilai kesederhanaan pada anaknya. Mulailah melatih mereka dari hal kecil. Seperti memberi makanan yang tidak terlalu mewah, tentunya tanpa mengurangi asupan gizinya. Dalam hal bermain, tanamkan kepadanya, bahwa benda dan tempat di sekitar rumah, dapat dijadian sebagai alat dan sarana bermain. Tidak lupa untuk menanamkan akhlaq terpuji kepadanya. Seperti saat mereka mengeluh akan masakan kita, kabarkan kepadanya, bahwa masih banyak anak yang mencari sesuap nasipun, harus bekerja terlebih dahulu, atau bila temannya mengenakan baju lebih bagus, kabarkan kepadanya, bahwa masih banyak orang yang mengenakan baju compang camping.

Alhasil, tanamkan kepada mereka sedari kecil, untuk melihat seseorang lebih bawah, bukan lebih tinggi darinya. Sebagaimana hal tersebut telah diajarkan oleh Rasulullah kepada keluarga, dan seluruh umatnya. Wallahu a’lam.

Penulis : Muhammad Adam Mustaqim, Guru SDIT Salsabila Banguntapan
Powered by Blogger.
close