Merokok Mematikanmu


Oleh : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A.

Memang “istimewa” orang Indonesia itu, banyak sekali contoh kejadian di masyarakat yang tidak layak ditiru, namun selalu saja banyak orang yang melakukannya. Bahkan sudah banyak peringatan tertulis di papan yang berukuran besar terpampang di pinggir jalan, salah satunya adalah “Merokok Mematikanmu”, namun tetap saja orang merokok.

Mungkin orang akan bertanya, apakah masyarakat di negara lain juga seperti kita, tidak terpengaruh oleh iklan yang sebetulnya “menakutkan” itu. Ternyata berbeda, mereka sangat terpengaruh. Hal ini terbukti dengan adanya penggalangan kampanye anti rokok di sejumlah negara, berdasarkan data yang ada, jumlah perokok dalam skala global dibandingkan jumlah penduduk dunia angkanya turun drastis. Hal ini juga kami lihat sendiri ketika berkesempatan mengunjungi beberapa negara.

Masyarakat di negara lain yang mempunyai fenomena sama seperti Indonesia adalah Filipina dan Bangladesh. Sepertinya, kecenderungan ini tidak lepas dari tingkat pendidikan mereka. Data yang disampaikan oleh UNESCO tahun 2017, dalam tingkat pendidikan, di antara negara-negara Asean, Indonesia dan Filipina menduduki peringkat menengah ke bawah, berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand, hanya berada di atas Vietnam, Laos dan Myanmar.

Tingkat pendidikan masyarakat memang secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat kesadaran mereka. Sehingga dalam kasus rokok ini mereka cenderung tidak terpengaruh oleh “ajakan baik” untuk meninggalkan rokok demi kesehatan. Secara emosional mereka lebih cenderung menginginkan kenikmatan “semu” merokok. Mereka secara tidak sadar menganggap kalimat “Merokok Mematikanmu” itu hanya sekedar menakut-nakuti. Karena bukti yang ada, menurut mereka kebenarannya masih dipertanyakan. Mereka selalu bilang, bahwa bapak A yang perokokpun terlihat sehat dan berumur panjang. Meskipun sebetulnya contoh orang seperti ini sangat jarang.

Mereka enggan atau tidak mau melihat kenyataan, bagaimana kesehatan para perokok itu seandainya mereka mau diperiksa paru-parunya. Bahkan contoh akibat buruk merokok yang gambarnya dapat dengan mudah dilihat di gagdet lewat YouTube, WhatsApp, atau yang lain-pun, tetap saja tidak membuat perokok itu bergeming. Kalau toh akhirnya mereka berhenti itupun bukan karena tulisan peringatan itu. Mungkin tidak ada seseorang yang ketika membaca peringatan tersebut langsung berhenti merokok.

Mereka berhenti mungkin karena akibat yang sudah dia rasakan sendiri. Seperti suatu saat tiba-tiba dia sulit sekali bernafas, dada terasa sangat sakit sampai tidak tertahan, hampir hilang kesadarannya, barulah dia akan berhenti. Itupun mungkin setelah dokter memerintahkannya. 

Bahkan ketika istrinya hamil atau punya anak yang masih bayi, yang dia sadar betul bahwa mereka tidak boleh kena asap rokok, bukannya dia berhenti merokok, namun hanya pindah tempat, ke tempat yang agak jauh. Himbauan dari istri, sebagai orang yang paling dekat, atau orangtua yang melahirkan mereka, itupun juga sudah tidak mempan.

Padahal bagi perokok pasif, bahayanya belum tentu lebih ringan. Ketika seseorang merokok, justru sebagian besar asapnya tidak masuk ke paru-paru perokok, namun lepas ke udara, sehingga terhirup oleh orang-orang di sekitarnya. Meskipun mereka tidak merokok secara langsung, namun bisa terkena dampak buruknya. Makin sering seseorang bergaul dengan perokok, makin tinggi risiko gangguan kesehatannya.

Yang menyedihkan, dari data yang ada, di negara kita ini 30% perokok adalah masyarakat yang berkekurangan. Pengeluaran kedua setelah beras adalah rokok, kebutuhan yang lain terkalahkan. Bahkan sebagian dari mereka ada yang mengatakan, lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok.

Nampaknya ke”istimewa”an masyarakat kita, tidak hanya sebatas tidak bergemingnya terhadap peringatan “mengerikan” tentang merokok. Namun juga terhadap banyaknya contoh operasi tangkap tangan para pejabat yang sedang menerima suap, tidak dengan sendirinya membuat masyarakat kita jera terhadap tindak korupsi. Selalu saja pejabat yang lain tetap melakukannya, sepertinya mereka sudah tidak punya malu lagi. Apakah untuk berhenti merokok dan korupsi perlu “hidayah”?. Wallahu A’lam Bishawab.

Penulis : Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A., Pimpinan Umum Majalah Fahma, Guru Besar Fakultas Teknis Mesin UGM
Powered by Blogger.
close