Perlu Ilmu untuk Bicara Cinta



Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

Berbicara itu mudah, begitu kata mutiara yang saya pelajari sewaktu SD. Karena mudah, keterampilan berbicara tidak diajarkan secara khusus. Begitu juga adab-adab berbicara, nyaris tak dikenalkan. Buat apa dipelajari terlalu serius kalau berbicara itu mudah? Yang sulit adalah berbuat. Begitu sulitnya sampai-sampai para siswa juga tidak diajari berbuat untuk mewujudkan sesuatu yang besar. Jangankan yang besar, yang agak besar saja tidak diajarkan. Alhasil, anak-anak tidak terbiasa berbicara yang baik—apalagi yang benar—dan tidak mampu menuangkan gagasan dengan kata-kata yang teratur, sedangkan berbuat pun tidak. Anak-anak itu tumbuh menjadi pemimpi—bukan pemimpin.

Begitu akrabnya dengan mimpi, sampai-sampai membangun rumah tangga pun dilakukan dengan menabung mimpi. Kita bermimpi tentang rumah tangga yang mesra; di dalamnya ada canda-canda menggoda serta ungkapan cinta yang menghangatkan jiwa, tetapi kita tidak tahu bagaimana mengatakannya. Ketika ada di antara kita yang mampu mengungkapkan isi hatinya dengan cerita yang penuh semangat, harapan tentang perhatian yang hangat pun pupus karena kita tidak siap mendengar.

Kelak saya tahu, dari masalah-masalah yang menghampiri saya ketika sebagian di antara saudara kita menggigit bibirnya yang tidak sakit lantaran kekecewaan dalam berumah tangga, ternyata keterampilan menuangkan kata dan mendengarkannya banyak berperan dalam mewujudkan mimpi. Sebagian saudara kita merasa pernikahannya nyaris tak terselamatkan karena “tidak mungkin lagi dipersatukan”. Namun, ternyata masalah pokoknya adalah suami yang kurang mampu mendengarkan atau istri yang terlalu ketus dalam mengungkapkan keinginan.

Tak ada yang berkurang pada cinta mereka. Namun, ketidakmampuan dalam mengungkapkan perasaan lewat kata, membuat kegembiraan berubah menjadi kejengkelan. Kadang yang membuat cinta tak kunjung bersemi di rumah kita adalah karena kita melupakan hal-hal kecil yang besar maknanya. Karena kita melupakan, atau tidak terampil mengungkapkan, atau karena tidak tahu, akhirnya kita hampir tak pernah mengatakan kepada orang yang mendampingi hidup kita. Atas sebab itu, ia merasa tak dicinta dan diperhatikan, bahkan ia merasa tak dibutuhkan, padahal yang terjadi sesungguhnya tidak demikian.

Kadang, maksud yang baik tidak disambut dengan penuh semangat oleh pendamping hidup kita atau anak-anak kita, semata-mata karena kita salah mengungkapkannya. Ini berarti berbicara itu tidak mudah bila kita sungguh-sungguh ingin berbicara yang benar dan tepat. Perlu ilmu untuk bisa berbicara dengan baik, mengena, dan membawa kebaikan. Kalau kemudian sekolah kita mengajarkan berbicara itu mudah, barangkali yang dimaksud adalah berbicara asal bersuara.

Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Foto : google
Powered by Blogger.
close