Wahai Anakku, Siapakah Idolamu?


Oleh : Muhammad Abdurrahman

Wahai anakku, siapa idolamu? Jika pertanyaan ini diajukan pada anak-anak kita, kira-kira apa jawaban mereka? Tentunya akan sangat beragam. Akan sangat bahagia jika anak-anak kita menjawab idolanya adalah Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu hati kita akan merasa haru kala mereka menjawab orangtuanyalah idolanya, meski kita masih sangat jauh jika dikatakan idola.

Namun apa jadinya jika anak justru menyebutkan Naruto, Princess Shofia, Ultraman atau tokoh-tokoh fiksi lainnya? LEbih mengerikan lagi jika anak-anak kita justru menyebutkan nama-nama artis yang tidak cocok jadi idola. Ini jadi pekerjaan rumah yang besar bagi kita. Sebab generasi masa kini mengalami krisis idola. Mereka tidak menemukan sosok yang cocok dan pantas dijadikan idola. Jadilah akhirnya mereka hanya sebagai pengikut trend. Tidak memiliki identitas dan kepribadian.

Idola. Tidak bisa dipungkiri, seorang anak akan tumbuh dengan melihat, meniru, dan mengikuti jejak idolanya. Adalah fitrah seorang anak untuk mencari idola, yang akan menjadi cetak atau arahan dia untuk tumbuh dan berkembang. Seorang anak yang mengidolakan ayahnya, maka dia akan berusaha patuh dan selalu ikut dengan ayahnya. Namun berapa banyak dari kita para ayah yang bisa menjadi teman dan idola anak kita? Apa yang terjadi jika bukan ayah, ibu, kakak, atau guru yang menjadi idola anak kita? Tentu mereka akan mencari idola dari sumber lain, dan sayangnya di zaman digital ini sumber idola tersebut adalah TV dan Internet.

Adakah di antara anak-anak kita yang mengenal Buya Hamka, Pangeran Hasanudin, Diponegoro atau KH Ahmad Dahlan? Apakah kisah-kisah pahlawan bangsa tersebut yang lebih sering didengar anak kita, ataukah kisah-kisah besutan sutradara Hollywood? Adakah di antara anak-anak kita yang mengenal Abu Bakar, Umar bin Khotob, Usman bin Affan, dan sederet sahabat-sahabat mulia lainnya? Apakah anak-anak kita juga mengenal Muhammad Al Fatih, Shalahudin Al Ayyubi, Thoriq bin Ziyad, Usamah bin Zaid dan pahlawan lain yang berjuang sejak usia

Sebagai pemuda kaum muslimin, jika mereka tidak bangga dengan identitas Islam, bahkan merasa bahwa Islam adalah agama teroris dan terbelakang, maka masuknya budaya non-Islam akan menjadi angin segar bagi mereka. Budaya non-Islam adalah modern, gaya, dan up-to-date, sedangkan hal-hal yang berbau Islam adalah kolot dan ketinggalan zaman. Maka yang manakah yang akan mereka ikuti?

Adalah tanggung jawab kita sebagai orangtua untuk mendidik generasi muda. Alhamdulillah jika kita sebagai ayah atau ibu bisa menjadi idola bagi anak-anak kita. Lebih baik lagi jika anak-anak kita, kita kenalkan dengan tokoh-tokoh nyata, pahlawan-pahlawan yang telah membela umat dengan darah dan air mata mereka. Kita kisahkan perjuangan pemuda ashabul Kahfi yang menjaga iman mereka tanpa takut mati sedikit pun. Kita kisahkan Saad bin Abi Waqqash ra, sahabat mulia yang panahnya tidak pernah meleset berkat doa Rasulullah. Kita haturkan perjuangan Muhammad Al Fatih membuka benteng Konstantinopel. Kita ceritakan keberanian Khairuddin Barbarossa dan angkatan lautnya membebaskan tawanan Muslim dan Yahudi dari inkuisitor Spanyol. Kita kisahkan bagaimana perjuangan Thoriq bin Ziyad kala membawa pasukannya menaklukkan Andalusia. Pun juga kita biasakan anak kita mendengar indah dan mulianya akhlak panutan kita Rasulullah Muhammad.

Kalau bukan kita yang mengenalkan tokoh-tokoh yang seharusnya anak kita idolakan, maka televisi yang akan melakukannya. Jika bukan kita yang mengenalkan sejarah Rasul dan para sahabat, maka jangan salahkan mereka jika anak lebih suka membaca komikyang tidak mendidik. Jika kita tidak mempertontonkan kisah ‘Umar ra pada anak kita, maka film-film melankolis dan drama cengeng yang akan jadi santapan mereka. Kalau bukan kita yang berbuat untuk anak kita, untuk masa depan umat dan kaum muslimin, lalu siapa lagi.

Penulis : Muhammad Abdurrahman, Pemerhati dunia anak
Powered by Blogger.
close