Bercanda Penuh Makna, Bercengkerama dengan Mesra
Oleh : M.
Sutrisno
Bercanda yang baik itu hal yang mubah. Sesekali kita memang butuh
tersenyum atau tertawa. Canda bisa mengusir
rasa takut, marah, dan sedih. Ada orang
yang mudah melupakan kesedihan setelah bercanda dengan sahabatnya. Banyak
anak-anak yang semula cemberut dan marah kemudian menjadi tersenyum karena
diajak bercanda.
Sebaliknya, canda yang buruk itu
haram. Kita dilarang bergurau dengan perkataan kotor dan penuh dusta. Canda
yang berlebihan bisa mengundang dosa, membuat kita diremehkan orang,
menimbulkan sakit hati bagi mereka yang menjadi korban ejekan saat bercanda.
Di dalam kitab-kitab hadits
memang sedikit yang membicarakan tentang bagaimana perilaku Nabi dalam
bercanda. Tapi bukan berarti Rasulullah adalah sosok yang kaku dan mahal
senyum.
Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu ’anhu berkata: ”Rasulullah
Shalallahu ’alaihi wasallam apabila (ada sesuatu yang membuatnya) senang (maka)
wajah beliau akan bersinar seolah-olah wajah beliau sepenggal rembulan.”
(HR. Bukhari)
Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ’anhu bercerita, ia masuk ke rumah Rasulullah dan
menemukan Hasan dan Husain sedang bermain di hadapan Nabi. Sa’ad Bin Abi Waqqash
juga pernah bertamu ke rumah Nabi dan melihat beliau sedang bercengkerama
dengan kedua cucunya. Hasan dan Husain bermain di atas perut kakeknya. Jabir
Bin Abdilah Radhiyallahu ’anhu melihat Nabi sedang merangkak sedang di
punggungnya ada Hasan dan Husain bermain kuda-kudaan,
begitu.
Ternyata, Nabi Shalallahu
’alaihi wa sallam sangat mencintai anak-anak dan suka bercengkerama dengan
mereka. Tak heran jika cucu-cucunya, anak-anak para sahabat dan anak kecil pada
umumnya suka pada Nabi. Kepada para sahabat, Rasulullah menasehati agar orang
tua bisa bercanda dengan anak.
Tentu saja, dalam bersenda
gurau dan bermain bersama si kecil kita harus meneladani Rasulullah. Yaitu
dengan penuh kasih sayang, menjauhi sifat kasar dan kaku, tidak tertawa untuk
mengejek anak meski itu dimaksudkan sebagai gurauan.
Sering ada orang yang
menggunakan kekurangan anak-anak sebagai bahan canda. Misalnya, anak yang
bertubuh subur disebut sebagai gentong (tempat
air) atau gajah. Yang berkepala botak dibilang si botak atau si gundul. Boleh
jadi tawa akan meledak di situ, tapi siapa bisa menjamin bahwa yang diejek
tidak sakit hati?
Betapa banyak pula orang tua yang tak pernah bercanda
dengan anak. Tidak punya waktu, sibuk kerja, banyak urusan sering dijadikan alasan.
Ada seorang ayah yang seharian kerja cari nafkah, pulang ke rumah kadang tak
mau peduli dengan si kecil. Maunya sang ayah adalah istirahat yang nyaman
karena beberapa saat berikutnya akan pergi lagi. Wajar jika si kecil mendekat
bukannya disambut dengan hangat tapi malah digertak.
Sesibuk apapun, mestinya para
orang tua menyempatkan diri untuk
dapat bercengkerama dengan anak-anaknya. Meski sesaat, yang penting membawa
manfaat. Entah sebelum pergi kerja, saat makan, saat istirahat, atau saat anak
menjelang tidur. Atau sesekali mengajak anak bermain keluar, jalan-jalan,
silaturahmi atau rekreasi.
Sambil bercengkerama kita bisa menyampaikan
nasehat berguna. Jika semua dijalani dengan ikhlas, sungguh nikmat rasanya.
Tapi bagi yang tidak ikhlas, kehadiran anak yang ingin mengajak bercanda
seringkali dianggap sebagai gangguan yang menyela.
Rasulullah
sudah memberikan contoh, apa susahnya kita meneladani? Mari selalu menyayangi anak-anak,
mengajaknya bercengkerama dengan mesra, bercanda penuh makna. Suasana damai dan
tentram, insya-Allah tercipta. Alangkah indahnya.
Penulis : M. Sutrisno, Aktivis
Dakwah
Post a Comment