Mendidik Anak Perempuan, Bagaimana?
Imam Nawawi
Jika kita membaca literatur tentang bagaimana mendidik anak, termasuk anak perempuan maka akan terdapat banyak saran dan nasehat untuk orangtua mengarahkan ini dan itu. Seperti anjuran mengajarkan hal terpuji, mengajarkan anak perempuan menjadi anak yang rajin, belajar masak, mengajarkan akan harga diri dan lain sebagainya.
Tentu saja bisa ditebak, semua itu didominasi oleh yang namanya menerangkan, menjelaskan alias mengajarkan. Tetapi, apakah demikian dimensi mendidik anak perempuan?
Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam bukunya "Shahabiyah Haular Rasul" mengutip sebuah syair dari seorang pujangga;
Ibu adalah sekolah, apabila engkau mempersiapkannya
Engkau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang bernasab mulia
Ibu adalan taman, apabila engkau selalu menyiraminya
Taman itu akan memunculkan tunas begitu indahnya
Ibu adalah guru para guru nan utama
Prestasi mereka menyebar ke berbagai penjuru
Ungkapan pujangga itu dikutipnya setelah menerangkan bahwa kualitas kaum muslimah pada masa awal islam sangatlah luar biasa. Mereka adalah muslimah yang apapun mereka korbankan demi Islam, tanpa peduli meski harus menghadapi kezaliman, penyiksaan, dan kematian demi aqidah.
Sekarang mari kita melihat bagaimana sejarah menampilkan sosok Fatimah Az-Zahrah, putri dari Nabi Muhammad dan Khadijah.
Ketegaran Fatimah memang diinspirasi oleh sang ayah, tetapi juga oleh sang ibu, Siti Khadijah. Saat suaminya belum dinobatkan sebagai Nabi dan Rasul, masyarakat jahiliyah telah mengenal Khadijah sebagai At-Thahirah (wanita suci).
Wanita yang berakal, cerdas, terjaga, dan mulia. Sosoknya juga tempat Nabi bernaung, ia membela dan mendukung sang suami menyampaikan dakwah Islam. Ia mempersiapkan segala faktor kebahagiaan dan kenikmatan untuk beliau.
Saat Nabi mendapatkan ujian yang berat, kesulitan yang mendera, maka Khadijahlah yang tampil menghibur, meneguhkan dan membela.
Dan, Syeikh Al-Mishri menguraikan mengapa Muhammad bersedia menikah dengan Khadijah yang secara umur 15 tahun lebih tua dari dirinya.
“Muhammad tidak akan mau menikah dengan Khadijah meski memiliki harta benda sepenuh bumi, dan meski ia wanita tercantik di dunia, andai saja bukan karena kekuatan akal, kecerdasan, dan pengakuan kaumnya akan kemuliaan sifat, perilaku terpuji, menjaga diri, hati nan lurus dan nasab terhormat yang beliau ketahui.”
Dengan kata lain, upaya mendidik anak sesungguhnya bukan saat pasangan suami istri telah dikaruniai bayi, tetapi jauh sebelum itu semua terjadi.
Andai pun kini anak-anak sudah tumbuh dan besar, maka jangan pernah putus asa, karena keteladanan, penajaman iman dan takwa dengan amal sholeh dalam kehidupan akan menjadi keteladanan yang terus bersinar, yang cepat atau lambat dengan idzin-Nya akan menjadikan anak-anak kita mengerti bagaimana semestinya bersikap.
Tentu saja sisi nasehat, pengarahan, dan pendidikan tetap diperlukan. Namun jangan pernah abaikan sisi keteladanan. Pengajaran bisa terlupakan, tetapi keteladanan menyadarkan dan menggerakkan.
Pertanyaan selanjutnya, sudahkah ini menjadi strategi yang menjadi pilihan utama dalam mendidik anak-anak kita di rumah?
Post a Comment