Ketika Duduk Lebih Baik Daripada Berdiri
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Kelak
akan ada masa, dan aku khawatir masa itu telah dekat atau bahkan sedang
menghampiri pintu-pintunya. Inilah masa ketika seseorang yang duduk lebih baik
daripada yang berdiri, dan yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Ini
bukan karena tak peduli, bukan pula karena membiarkan kemungkaran dan kerusakan
terjadi.
Tetapi
justru karena dahsyatnya fitnah, sehingga melibatkan secara aktif untuk
menangkal maupun memerangi yang kita anggap sebagai keburukan yang nyata,
justru memperbesar keburukan itu sendiri. Inilah masa ketika ajakan untuk
berhati-hati dalam masalah yang berhubungan dengan kesesatan justru dianggap
sebagai membela kesesatan dan kekafiran, tidak peduli telah berapa jauh
perjalanan yang ditempuh dan berapa banyak upaya yang diperbuat oleh orang itu
untuk mengajak manusia ke jalan yang lurus.
Rasulullah
shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِـي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، اَلْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِِمُ خَيْـرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا بِسُيُوفِكُمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنْ دُخِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ.
"Sesungguhnya
menjelang datangnya hari Kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam
yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi
kafir di sore hari, di sore hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi
kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang
berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan
dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka
patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian dan
pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika salah seorang dari kalian
dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang anak Adam yang paling
baik (Habil).’” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Hakim).
Maksud
dari "...pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir
di sore hari..." yaitu, pada pagi harinya ia mengharamkan dirinya dari
menumpahkan darah saudaranya (seiman), kehormatan dan hartanya. Tetapi pada
sore hari ia menghalalkannya. Ia menganggap halal darah, kehormatan dan harta
saudaranya karena menganggapnya kafir.
Wallahu
a'lam bish-shawab.
Inilah
masa yang penuh kejutan. Gegar. Seseorang yang beriman, tiba-tiba berubah
menjadi kafir disebabkan oleh gelapnya fitnah. Kekafiran itu sendiri banyak
sebabnya; ada yang disadari sepenuhnya bahwa ia telah terjatuh pada kekafiran,
ada yang ia sepenuhnya tidak sadar bahwa dirinya telah terjatuh kepada
keburukan yang sangat besar itu. Maka, sangat perlu bagi kita memahami apa saja
yang membatalkan syahadat dan merusaknya. Kita belajar dengan sungguh-sungguh,
sekaligus penuh kehati-hatian. Dan yang terbaik adalah memahami sesuai
pemahaman para salafush shalih; dari mereka yang telah melalui ujian dalam
menempuh jalan kebenaran ahlussunah wal jama'ah ini. Salah satu yang paling
samar dan mengkhawatirkan adalah memvonis kafir dalam berbagai bentuknya kepada
seorang mukmin sehingga vonis tuduhan itu berbalik kepada dirinya, sedangkan ia
tidak menyadari.
Inilah
masa ketika memilih diam padahal kemungkaran dan kerusakan itu telah sangat
nyata, justru jauh lebih baik. Bukankah kita berdosa apabila membiarkan
kemungkaran padahal kita mampu mencegahnya, dengan kekuatan atau lisan kita?
Betul. Dan ketentuan ini tidak berubah. Tetapi di zaman fitnah, tindakan yang
kita maksudkan untuk amru bil ma'ruf serta mencegah kemungkaran justru semakin
mengobarkan kemungkaran dan memadamkan yang ma'ruf. Maka, sungguh, ini
masa-masa yang sangat sulit. Perlu ilmu, keteguhan hati dan kesabaran dalam
melaluinya. Kita memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala agar tidak termasuk
yang menyulut dan mengobarkan api fitnah.
Tapi
bukankah penggugur syahadat dan pembatal keislaman itu salah satunya adalah
tidak meyakini kekafiran orang kafir dan kesesatan orang-orang yang sesat?
Benar dan ini pun tidak berubah. Bahkan setiap hari kita berdo'a di dalam
shalat kita, di setiap penghujung Al-Fatihah yang kita baca, memohon ditunjuki
jalan yang lurus dan bukan jalan orang-orang yang dimurkai, bukan pula jalan
orang yang sesat. Maka, meyakini adanya kesesatan dan membenci kesesatan itu
merupakan bagian sangat penting di setiap shalat kita. Tetapi itu bukan berarti
kita dapat dengan mudah menghukumi seseorang sebagai sosok yang sesat dan kafir
tanpa bukti yang utuh dan lengkap. Begitu pula kita tidak dapat menghukumi
orang yang tidak ikut memvonis sesat terhadap seseorang yang dianggap sesat,
sebagai orang yang rusak syahadatnya. Bukankah telah banyak berlalu sebelum
kita orang yang dinyatakan sesat, tetapi kelak ternyata kita tahu bahwa ia
justru seorang yang sangat lurus? Imam Bukhari salah satunya.
Rasulullah
shallaLlahu 'alaihi wa sallam memberi gambaran yang sangat terang dan rinci
tentang sikap yang seharusnya kita ambil saat fitnah agama ini meluas. Yang
duduk saat itu lebih baik daripada yang berdiri. Yang duduk, tidak lalai, tidak
lengah, tetapi memilih diam tidak turut dalam gejolak silang sengkarut fitnah
dan kerusakan, justru itulah cara terbaik untuk memadamkan fitnah dan
kerusakan. Diam dan menjaga kejernihan, tidak tergesa-gesa turut membenarkan
tuduhan yang boleh jadi benar dan boleh jadi salah, menahan diri dari ikut
saling menghujat dan melaknat, justru merupakan jalan yang paling selamat. Ia
seolah pasif, padahal sesungguhnya harus menahan diri lebih dari yang lain. Ia
justru sedang bersabar sesabar-sabarnya agar tidak tergesa-gesa dalam bersikap.
Yang
berdiri lebih baik daripada yang berlari. Yang memilih untuk tetap
mengingatkan, meluruskan yang menurutnya bengkok, lebih baik daripada yang
aktif dalam gelombang perlawanan terhadap apa yang dirasakannya sebagai
kemungkaran. Saya perlu menyebutnya sebagai "yang dirasakannya sebagai
kemungkaran" karena di masa fitnah begitu bercampur aduk antara yang
sungguh-sungguh lurus dengan yang bengkok; dan mudah kabur antara memerangi
kemungkaran dengan memerangi orang yang dituduh mungkar, sementara belum jelas
apakah ia sungguh-sungguh seseorang yang menjadi biang kemungkaran ataukah
justru sebaliknya.
Yang
berjalan lebih baik daripada yang berlari..... Renungilah....
Imam
Nawawi rahimahullah ta'ala berkata, "Makna hadis ini menjelaskan betapa
besar bahaya fitnah dan dorongan untuk menjauhi dan menghindarkan diri
sejauh-jauhnya dari fitnah tersebut, serta dari sebab-sebabnya. Sesungguhnya,
besarnya keburukan dan fitnah tersebut tergantung dari seberapa dekatnya dia
dengan fitnah itu. Semakin dia jauh dari fitnah, maka semakin baik
baginya."
Lalu,
apa yang harus kita kerjakan kita masa itu tiba? Patahkanlah busur-busur panah
kalian sehingga tidak ada bekal maupun perlengkapan kalian untuk turut
berperang dan melakukan perlawanan terhadap apa yang disangkakan sebagai
kemungkaran. Putuskanlah tali-tali busur kalian sehingga tidak ada lagi yang
dapat kalian lontarkan untuk turut di kancah perlawanan. Pukulkanlah
pedang-pedang kalian ke batu sehingga habislah semua yang dapat kalian
pergunakan untuk memusuhi mereka yang dianggap sebagai musuh berbahaya. Diam
dan terus berusaha memperbaiki diri seraya memohon pertolongan kepada Allah
Ta'ala untuk keselamatan diri, anak-anak, keluarga dan keturunan. Tidak turut
menyebar api fitnah.
Di
saat api fitnah sangat besar, hal yang paling utama bagi setiap orang adalah
memastikan keselamatan agama bagi dirinya sendiri (catat: bagi dirinya sendiri)
dan tidak terlibat sama sekali dalam gelombang fitnah yang sangat dahsyat. Ia
menjaga keselamatan agama bagi dirinya sendiri dan keluarga paling dekat yang
ia mampu, dari anak, istri dan orangtuanya, lalu saudara dan kerabatnya. Tetapi
jika ini pun dapat menyebabkan meluasnya fitnah, maka yang paling pokok adalah
menjaga dirinya sendiri dan keluarga paling dekat yang ia mampu.
Berupaya
mengubah sedangkan kekuatan lemah, padahal fitnah amat besar, adalah tindakan
membahayakan diri sendiri. Bukan saja secara fisik, tetapi terutama bagi
keselamatan agamanya. Selain itu, ini justru dapat semakin mengobarkan api
fitnah.
Diam bukan berarti tidak peduli. Kita diam justru karena
menetapi sunnah, menahan diri kuat-kuat meskipun amat risau dengannya agar
fitnah tidak semakin meluas. Kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
mengilmui sesuai tuntunan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam tentang
bagaimana cara tepat menghadapi fitnah. Tidaklah kita berbicara kecuali yang
benar-benar baik, berdasarkan ilmu yang haq, tidak menimbulkan keguncangan di
tengah-tengah ummat, tidak memuji kaum perusak meskipun mereka tampaknya
memperbaiki, tidak membenarkan perbuatan mereka dan berlepas diri darinya.
Berbicara hanya hal-hal yang baik dan tidak menimbulkan keguncangan berarti,
pada saat-saat fitnah memuncak kita lebih memilih membicarakan urusan lain yang
tidak bersinggungan dengan persoalan yang sedang mengobarkan api fitnah. Tetapi
jika ini pun tetap menyulut fitnah, diam itu lebih baik.
Sikap
yang harus kita tegakkan adalah menetapi al-jama'ah. Inilah garis tegas yang
harus dipegangi oleh Ahlussunnah wa Jama'ah. Tetapi apakah al-jama'ah itu,
khususnya di saat sangat sulit itu? 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu
berkata:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Al-jama’ah
adalah siapa saja yang teguh di atas kebenaran meskipun engkau sendiri.”
Bagaimana
jika dengan sikap itu kita justru dituduh sebagai pembelanya sehingga ikut
terkena fitnah? Na'udzubillahi min dzaalik. Inilah keadaan paling sulit. Kita
membenci kesesatan, tetapi kita justru dituduh sebagai pendukung dan pejuang
kesesatan. Tetapi jika itu terjadi, ikutilah perintah Rasulullah shallaLlahu
'alaihi wa sallam (semoga Allah Ta'ala menolong kita), ".... Jika salah
seorang dari kalian dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang
anak Adam yang paling baik (Habil)."
Bagaimanakah
Habil itu? Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 27:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَىْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ اْلأَخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceiritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) dengan sebenarnya.
Ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah satunya dan
tidak diterima dari yang lainnya. Maka berkata yang tidak diterima kurbannya,
‘Sungguh aku akan membunuhmu. ’Dan berkata yang diterima kurbannya,
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima kurban dari orang-orang bertakwa.’
Apakah
Habil melawan ketika diancam oleh saudara lelakinya ini? Tidak. Dan itu bukan
karena takut. Allah Ta'ala ceritakan perkataan Habil kepada kita di ayat
berikutnya:
لَئِن بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَآأَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ
“Sungguh
kalau kamu menggerakkan tanganmu untuk membunuhku, sekali-kali aku tidak
menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah,
Tuhan seru sekalian alam."
Tetapi
Habil juga mengingatkan saudara laki-lakinya mengenai dosa membunuh. Ia
berkata, sebagaimana kita baca di ayat berikutnya lagi:
إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوأَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَآؤُا الظَّالِمِينَ
"Sesungguhnya
aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa (pembunuhan ini) dan dosa kamu
sendiri yang lain maka kamu menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itu
adalah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.”
Semoga
catatan ringkas ini bermanfaat. Semoga kita dapat mengambil pelajaran darinya.
Semoga pula Allah Ta'ala menolong kita, menyelamatkan kita dan keluarga kita
dari api fitnah yang menyala-nyala sekiranya fitnah itu sempat kita jumpai
masanya.
Mohammad Fauzil Adhim,
Penulis Buku
Post a Comment