Mempersiapkan Pernikahan



Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
 
Pagi ini termangu. Anak-anak yang disebut sebagai teenager, yakni yang rentang usianya antara thirteen (13) sampai dengan nineteen (19) tampaknya semakin jauh dari kematangan, belum siap mengambil tanggung-jawab, tidak otonom dan belum menjadi yang produktif. Tak terkecuali anak-anak yang belajar di sekolah-sekolah agama. Ada kecenderungan, kedewasaan mereka semakin lambat hingga melewati 20 tahun. Padahal agama ini menuntut agar anak-anak kita telah menjadi manusia dewasa penuh, siap memikul taklif (sederhananya dapat disebut sebagai tugas dan tanggung-jawab agama) atau orangnya disebut mukallaf, sekaligus telah memiliki kematangan berpikir (‘aqil baligh) pada usia 15 tahun atau pada saat mereka mengalami mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki serta menarche bagi perempuan

Pada rentang usia itulah, sebelum mencapai usia 20 tahun, seharusnya pemuda kita telah siap menikah; siap mengemban amanah keluarga dan bahkan amanah dakwah. Harap dicatat, amanah dakwah sama sekali tidak sama dengan kemampuan ceramah yang dapat dipelajari melalui training kilat public speaking. Amanah dakwah ini mensyaratkan komitmen, ilmu, sikap mental dan kesungguhan untuk mengajak manusia menuju hidayah.

Rasanya benar yang dikatakan oleh Hisham Attalib dan kawan-kawan dalam buku bertajuk Parent-Child Relations bahwa model kekinian dalam bentuk menunda menikah sampai usia pertengahan dua puluhan (25 tahun ke atas) tidaknya menjadi jalan yang memuaskan. Menunda-nunda usia menikah bukan berarti mereka akan semakin matang kepribadiannya, semakin kokoh mentalnya. Menikah usia 18 tahun dengan persiapan matang jauh lebih baik daripada usia 30 tahun yang tergesa-gesa. Tak ada bekal ilmu, tak ada kesiapan mental yang memadai. Mereka menyangka pacaran itu persiapan berumah-tangga. Tidak. Pacaran itu hanya mengajarkan kepada mereka bagaimana menjadi pacar. Bukan menjadi istri atau suami

Berapa banyak orang menikah setelah pacaran bertahun-tahun. 10 tahun pacaran yang dijadikan sebagai pembenaran untuk saling mengenal, tetapi belum 10 bulan menikah sudah bertarung menghadapi gugatan cerai

Pagi ini termenung. Mengingat anak-anak saya yang tiga di antaranya lahir saat saya masih kuliah.

Saya termasuk yang terlambat menikah disebabkan oleh berbagai tantangan yang di luar kendali saya. Tetapi saya mulai berpikir ke arah pernikahan semenjak semester dua kelas 3 SMA. Maka saya sangat gelisah setiap kali mendengar ada yang terlalu menyederhanakan kesiapan sebagai usia 25 tahun ke atas. Sebagian orang bahkan menyarankan di atas 30 tahun

Tidak. Sama sekali tidak. Usia 40 tahun tanpa kesiapan yang memadai, hanya bermodal gaji besar, bukanlah landasan untuk membangun keluarga baik dan utama. Usia 40 tahun bisa saja menjadi pernikahan tanpa persiapan (unprepared marriage) sehingga lebih banyak harapan yang ingin diperoleh (marital expectations), sementara tak ada yang ingin diperjuangkan dalam perkawinan (marriage orientation). Padahal semakin tinggi harapan, semakin mudah kecewa. Sebaliknya semakin kuat orientasi pernikahan, semakin mudah bahagia meskipun tujuan mereka bukan mencari bahagia.

Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku-buku Parenting
Powered by Blogger.
close