Tak Soal, Kebaikanmu Dilupakan Orang

Oleh : Imam Nawawi
 
Rina membuang badannya ke atas sofa ruang tamu tak lama setelah berhasil membuka pintu yang ia lupa menaruh kuncinya.

Tubuhnya lemas, hatinya marah, akalnya gundah. Tidak habis pikir, mengapa saudara yang dibela-bela selama ini justru menuduh macam-macam, hanya karena informasi yang tak ia verifikasi.
“Benar-benar tak tau diuntung. Dia kira saya seperti itu. Astaghfirullah, kenapa dia bisa percaya hoaks macam itu,” ucapnya sengit sembari memeras bantal sofa dengan begitu kuat.

Perasaan Rina pun melayang pada masa tiga tahun silam, saat dirinya menjadi sebab kebaikan bagi saudaranya yang kini telah beruntung seperti sekarang.

“Rina, sudahlah, kenapa kejadian itu begitu merisaukanmu. Bukankah semua itu terjadi atas kehendak dan izin Allah,” suara itu membuyarkan flas back Rina pada masa tiga tahun silam.
“Eh, ibu,” ucap Rina terkaget sembari membetulkan posisi duduknya.

“Rina sih sebenarnya mengerti, tapi kenapa hati ini kesal,” jelasnya kepada sang ibu sembari meneguk air minum yang dibawakan untuknya.

“Kamu itu bagaimana ya, sudah tahu, kok ya masih nurutin perasaan. Tidak baik. Di situlah ilmu dan imanmu diuji,” timpal sang ibu sembari membelai rambut Rina.

Rina pun mulai lebih ingat. Benar yang disampaikan sang ibu. Toh hidup ini kita sebatas menjalani skenario-Nya. Kalau pun diri ini bisa memberi manfaat kepada orang lain, itu lebih karena karunia-Nya, bukan kemampuan diri yang lemah ini.

Spontan Rina memeluk sang ibu yang duduk di sampingnya. “Terimakasih ibu, Rina akan berusaha ikhlas. Melupakan kebaikan Rina yang diabaikan saudara sendiri, biar Allah yang menjadi saksi.”
“Bagus, nak. Biarkan siapapun melupakan kebaikanmu. Asal kamu jangan pernah melupakan kebaikan orang kepadamu,” sahut sang ibu dengan tangan yang menyeka butiran air mata yang mengalir di pipi Rina.

Tak lama terdengar adzan Maghrib. Rina pun bergegas bangkit, bersiap mendirikan sholat.
“Saudara-saudara kaum Muslimin, rahimakmullah. Atas kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan, harusnya jangan iingat-ingat. Ingatlah kebaikan orang lain kepada kita.

Kalau kita sering mengingat kebaikan diri dan melupakan kebaikan orang lain, maka kita semakin malas untuk berbuat baik, bahkan itu akan menghapus pahala kebaikan yang pernah kita perbuat,” suara pengajian itu begitu jelas terdengar dari pengeras suara di masjid yang hanya beberapa puluh meter dari kediaman Rina.

“Kalau kita mengingat-ingat kebaikan orang lain kepada kita, maka kita akan menjadi insan yang ikhlas, ngerti balas budi dan termotivasi berbuat baik.

Tapi kalau kita terus mengungkit-ungkit kebaikan diri kepada orang lain, kita bisa terjebak pada perasaan bangga diri dan mengharap balasan pada manusia. Rugi,” suara itu kembali bertubi-tubi menghantam relung sanubari Rina.

“Mari kita renungkan firman Allah Ta’ala,” suara itu kian kuat.

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 264).

Perlahan air mata Rina berlinang. Ya Allah, terimakasih, Engkau begitu sayang kepadaku, sampai-sampai tak lama dari peristiwa itu Engkau ingatkanku akan kelalaianku melalui taushiyah di masjid.
Rina terisak, butiran air matanya mulai menghujani sajadah yang baru saja ia lipat separuh. Rina berbegas, mencari kitab tafsir untuk mengerti lebih dalam lagi tentang kebaikan diri kepada orang lain yang tak boleh dibanggakan-banggakan.

Bruggh…. siku Rina menyenggol buku kecil di rak buku yang ia hendak membalikkan badan. Ia ambil buku itu dan terbuka di halaman 7. Terbacalah pesan singkat nan mendalam dari seorang ahli sufi dari Mesir.

“Bagaimana kau dapat menuntut imbalan atas amal (kebaikan), padahal Allah yang menyedekahkan amal itu kepada mu ? Bagaimana kau dapat meminta ganjaran atas keikhlasan, padahal Allah yang menghadiahkan keikhlasan padamu?” demikian tulis Syeikh Ibn Atha’illah yang membuat Rina kian sadar dan bahagia.*

Jakarta, 7 Rajab 1439 H Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia
Powered by Blogger.
close