Berbekal dan Berbicara dengan Baik



Oleh: Mohammad Fauzil Adhim 

Di antara nikmat yang saya syukuri adalah tidak punya TV di rumah. Sering menginap di berbagai hotel saat akan mengisi beragam seminar, alhamdulillah TV tidak menyala. Mengapa? Karena untuk menyala, TV memerlukan izin maupun pertolongan kita. Kalau tidak kita hidupkan, TV tak sanggup bertingkah di hadapan kita maupun anak-anak kita
Maka saya pun hampir tidak pernah menonton talk show cerdas maupun yang dianggap cerdas. Selintas sama, tetapi keduanya sangat jauh berbeda. Beberapa talk show cerdas, saya unduh dari layanan online atau mengcopy dari kawan. Saya suka talk show yang mampu menggali gagasan, pemikiran dan pengalaman orang. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari talk show cerdas, sebagaimana banyak hikmah dari ceramah bergizi penuh makna.

Maka ketika ada yang memperdengarkan kepada saya cuplikan "talk show" yang konon begitu cerdas, tetapi narasumber hampir tidak punya kesempatan untuk menyelesaikan kalimat, saya segera sampaikan bahwa itu bukan talk show. Itu interogasi atau lebih buruk lagi. Saya tidak mau menghabiskan umur saya untuk melihat tayangan yang hanya memberikan data smog alias kotoran data menurut istilah David Shenk.

Jika untuk menyelesaikan kalimat saja begitu sulitnya karena diinterupsi secara bertubi-tubi, bagaimana mungkin sosok yang diharapkan paparannya akan dapat menguraikan gagasan maupun alur pikirannya dengan utuh dan benar?

Nah, saya kemudian mendapatkan informasi dari orang yang cermat menghitung bahwa total durasi waktu host (pemandu acara) berbicara hampir sama dengan narasumber utama dan jauh lebih lama dibandingkan narasumber kedua.

Saya jadi teringat pengalaman diwawancarai oleh wartawan sebuah media nasional, ketika itu saya sedang di pulau seberang.

Wawancara cenderung sangat mengarahkan bahkan terasa agitatif. Saya tidak mau mengambil resiko dipelintir pernyataan saya, maka saya ganti mewawancarai wartawan tersebut maksud dari penggunaan teknik wawancara yang ia pakai.

Saya bersedia diwawancarai asalkan pertanyaannya fair dan saya ikut merekam. Jadi bukan menolak diwawancarai karena ini pun dapat "digoreng" sebagai isu tak sedap. Akhirnya, wawancara pun tidak jadi dilakukan. Saya hanya memberi nasehat kepadanya agar mencari rezeki yang barakah.

Pernah pula ada peristiwa menarik. Sebuah organisasi mengundang saya sebagai narasumber, tetapi moderator sangat menguasai pembicaraan. Pengantar yang ia berikan hampir menghabiskan waktu yang disediakan bagi narasumber. Di luar itu, moderator bukan bersikap moderate (pertengahan, tawasuth), tetapi sangat mengarahkan ke satu konsep dan keyakinan.

Repotnya, itu dinisbahkan kepada saya. Ini membawa konsekuensi untuk mengoreksinya agar tidak dianggap mengamini konsep maupun keyakinan keliru tersebut. Maka ketika saya dipersilakan untuk berbicara, setelah panitia berkali-kali memberikan kertas kepada moderator agar berhenti berbicara, saya pun mengawali dengan ucapan terimakasih,

"Terimakasih kepada moderator selaku pembicara pertama dan utama. Tadi sudah sangat banyak dijelaskan oleh moderator mengenai pendapat saya yang saya bahkan sangat tidak setuju dengan berbagai pendapat yang dinisbahkan kepada saya tersebut. Karena itu sebelum saya lanjutkan, saya ingin sampaikan bahwa semua yang disampaikan oleh moderator selaku pembicara pertama merupakan tanggung-jawabnya sendiri sepenuhnya."
Sesungguhnya, kita semua mempunyai tanggung-jawab untuk berbekal dan berbicara dengan baik. Kita perlu berhati-hati dalam bertutur, menata hati mengelola pikir, agar tidak menjadi najwa (pembicaraan, bisikan) yang kosong dari kebaikan.

Allah Ta'ala berfirman:
"Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar." (QS. An-Nisa' 4 : 114).


Penulis: Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku
Powered by Blogger.
close