Lindungi Anak-anak Kita!



Oleh :  Galih Setiawan

Tak selamanya buku atau komik yang sepertinya ditujukan untuk anak-anak selalu baik. Bahkan bukan tak mungkin ada kampanye terselubung di dalamnya. Belum lama ini, kita dikagetkan dengan sebuah komik yang diterbitkan oleh salah satu penerbit besar di Indonesia yang terang-terangan mempropagandakan LGBT. Alhamdulillah, atas desakan berbagai pihak, buku tersebut sudah ditarik dari peredaran. Penerbit pun meminta maaf atas kelalaiannya.

Terlepas dari alasan penerbit yang katanya lalai dalam proses editing, ada beberapa hal yang patut kita perhatikan dalam kasus ini. Para aktivis liberal kini tak lagi menyasar anak-anak muda seperti yang telah mereka lakukan pada pendahulu mereka. Tak tanggung-tanggung, kini anak-anak yang masih polos yang menjadi obyek kampanye mereka. Bahkan kampanye ini kini tak lagi sembunyi-sembunyi, namun sudah berani terang-terangan ke publik, dengan berbagai cara dan bentuknya,

Karena itu, kita sebagai orangtua, pendidik dan generasi yang peduli masa depan bangsa semestinya waspada melihat cara-cara propaganda yang dilakukan kelompok pro LGBT untuk melegalisasi gerakannya, baik melalu regulasi undang-undang maupun edukasi menyesatkan di masyarakat melalui buku-buku, tontonan, seminar dan sebagainya.

Keluarga adalah benteng pertama untuk menyelamatkan generasi dari perilaku seks menyimpang ini. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga dan mengarahkan akhlak putra putrinya. Orangtua hendaknya tidak mencukupkan diri dengan pendidikan akidah, ibadah dan akhlak saja, tapi perlu juga untuk memberikan pendidikan yang lain, salah satunya pendidikaan seks, bahkan sejak usia dini. Bukan tidak mungkin, maraknya perilaku LGBT ini salah satu faktornya adalah kesalahan dan ketidaktahuan orangtua dalam mengarahkan kecenderungan orientasi seksual anak, yang pada akhirnya berakibat pada penyimpangan sekual saat anak dewasa.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk menyelamatkan generasi dari perilaku LGBT, sesuai tuntunan Islam. Pertama, pisahkan tempat tidur anak. Anak mulai diajarkan untuk mandiri saat berusia 7-10 tahun. Mengajarkannya untuk sholat secara tertib dan mulai memisahkan tempat tidur mereka. Beri kamar khusus pada anak laki-laki dan anak perempuan. Anak akan mulai belajar mandiri untuk berani tidur sendiri. Latihlah secara-perlahan-lahan hingga anak-anak benar-benar mandiri. Hal ini sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah dalam sebuah hadits, “Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat bila mereka telah berumur 7 tahun. Pukullah mereka karena tidak shalat bila telah berumur 10 tahun. Pisahkanlah mereka dari tempat tidur kalian.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, baihaqi, dan Ahmad)

Kedua, Ajarkan anak permainan sesuai gender. Dunia anak adalah dunia bermain. Oleh sebab itu, sejak anak dalam usia bermain, ajarkan permainan yang memang sesuai dengan gendernya. Anak laki-laki bermain robot-robotan, perang-perangan, mobil-mobilan adalah hal yang wajar. Sedangkan perempuan, wajar saat bermain masak-memasak, boneka, dan sejenisnya.

Ketiga, ajarkan anak menutup aurat. Anak kecil memang belum diwajibkan untuk menutup aurat hingga mereka dewasa (baligh). Namun, mulai memahamkan dan membiasakan pada anak untuk mengetahui batasan auratnya dan menutupnya tentu perlu dilakukan. Kebiasaan yang ditanamkan sejak usia dini akan lebih mengakar kuat di kemudian hari.

Keempat, pahamkan anak tentang kodrat laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki bentuk fisik yang berbeda, suara yang berbeda, rambut yang berbeda dan penampilan yang berbeda. Pahamkan pada anak bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda. Laki-laki tidak boleh menyerupai perempuan dan perempuan tidak boleh menyerupai laki-laki. 

Terakhir, perlu diingat, persoalan cinta antara laki-laki dan perempuan adalah persoalan fitrah Ilahiyah yang diberikan Allah dalam rangka mengembangkan diri yang akhirnya membentuk keluarga. Sebagaimana pula tumbuhan dan hewan yang telah Allah takdirkan berpasangan untuk tumbuh, berkembang dan mencapai keseimbangan alam.

Saya tidak bisa membayangkan andai ajaran LGBT ini dilegalkan di Indonesia. Saya tidak bisa membayangkan jika kelak tiba-tiba institusi keluarga berubah, karena ayahnya laki-laki dan ibunya juga laki-laki. Pun sebaliknya, ada institusi keluarga yang ibunya perempuan dan ayahnya juga perempuan. Mau jadi apa Indonesia? Semoga negeri kita ini terhindar dari hal yang demikian. Aamiin.||

*) Galih Setiawan, Redaktur Majalah Fahma
Powered by Blogger.
close