Tantangan Guru di Era Digital


Oleh: Budi Haryadi

Seorang teman yang berprofesi sebagai guru SD pernah bercerita bahwa dia pernah menegur salah satu muridnya yang sudah lulus SD. Murid perempuan, sudah baligh.

Di akun media sosial muridnya ini, ia melihat si murid mengunggah foto tanpa jilbab. Segera dia mengomentari foto tersebut, “Dek, jilbabnya hilang ya? Atau sobek?”

Mungkin karena malu denga gurunya, murid ini langsung segera menghapus foto yang sudah ia unggah dan diganti dengan foto yang lain.

Salah satu permasalahan kolektif dunia pendidikan kita saat ini adalah guru abad XX (yang lahir tahun di bawah 2000) masih gagap teknologi. Sedangkan murid yang dihadapi adalah manusia abad XXI yang tentu beda dalam asupan gizi keilmuan teknologi.

Sederhananya, banyak anak didik kita saat ini lebih cerdas dalam dunia teknologi daripada gurunya. Kesenjangan semacam ini tidak bisa dibiarkan begitu saja agar tidak berakibat fatal dalam proses pendidikan.

Guru pada masa kini harus pandai menyesuaikan diri di mana dan dalam situasi apa mereka berada. Munculnya media komunikasi yang tidak hanya berbasis pesan (audio) menjadi candu bagi anak-anak muda sekarang. Terlebih lagi sebuah aplikasi komunikasi yang dilengkapi dengan media audio visual.

Tak sedikit dari anak didik bangsa ini memperlihatkan gambar (amoral), yang menurut mereka merupakan sesuatu yang trendi. Ironisnya, guru tidak mengetahui apa yang dilakukan anak didiknya karena tidak memiliki aplikasi serupa.

Ini adalah sebuah problema yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Lewat salah satu aplikasi yang paling digandrungi, anak remaja hari ini berlomba-lomba mempertontonkan foto-foto mereka yang paling bergengsi.

Maka, ketika siswa memiliki akun di media sosial, tak ada salahnya guru juga memilikinya, bahkan disarankan untuk saling berteman. Selain sebagai wadah untuk belajar, media komunikasi, dan penyebaran informasi, keberadaan guru juga sebagai pengawas aktivitas anak didik ketika berselancar di dunia maya.

Dalam hal ini, guru harus mengetahui bahasa yang sering digunakan oleh mereka. Terkadang dalam bahasa yang mereka gunakan terselip unsur-unsur yang menjerumus kepada tindakan-tindakan yang tak beradab.

Guru juga harus belajar bahasa anak-anak. Mereka familiar sekali dengan Short Message Service (SMS), blogging, e-mail,dan yang sekarang sedang semarak adalah vlogging alias video blogging, yaitu merekam aktifitas sehari-hari dengan kamera video dan diunggah ke dalam blog pribadi. Kita harus ikut belajar bahasa-bahasa SMS dan lainnya agar bisa mengetahui pola komunikasi anak didik sekaligus mencari solusi yang tepat jika ada masalah.

Selain itu, untuk menjawab tantangan mengajar di era digital, guru perlu meyakini bahwa teknologi bukanlah perangkat yang utama dalam kegiatan mengajar. Meski teknologi bisa melakukan segala hal, peran guru untuk mencetak siswa berkualitas di Indonesia tetap yang paling penting.

Ada sebuah prinsip yang wajib dipegang para guru. Prinsip tersebut nantinya  akan menentukan sikap guru pada teknologi sebagai sarana mengajar.

Teknologi itu alat, bukan tujuan. Bukan akhir, tapi awal. Penggunaan teknologi diharapkan meningkatkan engagement. Dengan teknologi internet, siswa sudah membaca materi pelajaran setelah diunduh. Nantinya di kelas, guru bukan lagi menerangkan tetapi mengajak anak untuk berpikir kritis.

Pembelajaran yang dilakukan di kelas bisa diarahkan untuk memecahkan masalah, Misalnya bagaiman cara menyilang tanaman agar menghasilkan buah atau bunga yang bagus. Bagaimana menemukan rute perjalanan tercepat dari Yogya ke Jakarta dengan mobil pribadi. Atau bagaiman acara mendaur ulang sampah di sekolah agar bisa menjadi barang bernilai ekonomi dan sebagainya.

Intinya, memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menerapkan pengetahuan sesuai level sekolah yang ditempuh.||

Penulis: Budi Haryadi, Pemerhati pendidikan 
Powered by Blogger.
close