Guru dan Lisan



Oleh : Yulias Fita Ari Antika, S.Pd.

Lidah tak bertulang. Mendengar istilah ini semua pasti tahu apa yang dimaksud. Ya, itulah lisan. Bukan tanpa sebab kenapa ia dikatakan sebagai lidah tak bertulang. Dari lisan sesuatu yang baik bisa nampak tak baik, dari lisan sesuatu yang tak baik menjadi nampak baik, dari lisan bisa mengubah pandangan seseorang, dari lisan pula bisa timbul kebaikan atau keburukan. Ia bisa berubah kapan saja. Ia tak memiliki tulang sehingga bisa dengan mudah mengatakan apa saja.

Sudah jelas disampaikan dalam sebuah hadits:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. al-Imam al-Bukhari hadits no. 6089 dan al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).

Hadits tersebut mengandung perintah bahwa siapa yang beriman hendaklah ia berkata baik, mengatakan sesuatu yang baik dan yang bermanfaat. Namun, jika ternyata ia tak mampu berkata baik, maka hendaklah ia diam. Diam tidak mengatakan sesuatu yang tidak baik, diam menahan diri untuk berkata-kata yang bisa menyakiti, diam menahan lisannya.

Namun, ternyata diam ini bukan perkara yang mudah. Terbukti dari masih banyaknya fitnah juga ghibah yang dihasilkan oleh para lisan. Entah laki-laki maupun perempuan. Para lisan ini masih belum bisa diam mengatakan hal yang menyakitkan, meskipun itu sesuatu yang benar, Islam sudah mengajarkan cara yang makruf dalam hal tersebut. Pun komentar-komentar yang asal ‘ceplos’ keluar dari lisan juga perlu dikontrol.

Lantas apa hubungan guru dan lisan?

Pertama, guru adalah seorang pendidik, ia mendidik anak-anak generasi bangsa, ia memberikan contoh setiap hari di sekolah, baik lisan maupun perbuatan, ia menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak-anak di sekolah. Bukan hanya sekedar ilmu dunia saja tapijuga nilai agama.Maka apa jadinya jika guru yang memiliki banyak gelar salah satunya ‘digugu lan ditiru’ ini ternyata tak mampu menjaga lisannya?

Para murid tentu akan memiliki penilaian tersendiri kepada para guru yang seperti ini. Kemungkinan terburuk murid turut meniru guru yang seperti ini.

Kedua, lisan yang tak terjaga bagaimana ia bisa menyampaikan ilmu dan kebenaran, di mana hampir setiap waktu mengajar lisan tentu lebih dominan. Lisan yang tak terjaga maka apa yang ia ucapkan tak akan sampai ke hati para murid. Ilmu yang disampaikan akan mudah mampir pun mudah hilang di pikiran anak-anak. Ia tak memiliki nilai spiritualitas.

Ketika guru ibadahnya baik, lisannya terjaga, niscaya dengan izin Allah apa yang ia ucapkan langsung akan sampai ke hati murid. Karena ketika guru dekat dengan Allah, lisannya akan terjaga dari sesuatu yang sia-sia.

Ketiga, di sekolah murid berinteraksi langsung dengan guru-gurunya, melihat langsung aktivitas sang guru dan mendengar langsung apa yang diucapkan sang guru. Sudah seharusnya guru menjaga lisan agar siswa tak mendengar sesuatu yang tidak baik dari sang guru. 

Keempat, lisan itu tajam, berhati-hati dalam berbicara adalah salah satu cara agar sesuatu yang tajam ini tak menyakiti atau menggores siapa pun, termasuk murid.

Guru ketika mengajar juga harus hati-hati mengucapkan sesuatu, terutama saat menasehati juga bercanda dengan para murid. Anak-anak adalah peniru dan pendengar yang lihai. Sekilas apa yang mereka lihat bisa langsung ditiru, pun sekilas yang mereka dengar bisa dengan mudah mereka ingat.

Dikatakan bahwa lidah lebih tajam daripada pedang. Saat menyakiti ia memang tak luka secara fisik. Jika luka fisik diobati maka insyaAllah dengan izin Allah akan sembuh , bahkan sampai ke bekas-bekasnya. Tapi secara batin, ia bisa menggores hati dengan luka dalam dan entah kapan bisa disembuhkan.

Kelima, dari lisan akan menunjukkan siapa diri kita. Apalagi seorang guru. Sudah selayaknya guru menjaga lisan di mana pun dan kapan pun. Bukan hanya di sekolah saja menjaga lisan, karna di mana pun guru berada seharusnya menunjukkan pribadi yang baik, menunjukkan kualitasnya, dan membawa kebaikan.

Kelima hal di atas berlaku bukan hanya guru kepada murid, namun guru kepada sesama guru dan guru ketika di rumah dengan sanak saudara dan tetangga.

Penulis : Yulias Fita Ari Antika, S.Pd., Guru SDIT Hidayatullah Sleman
Powered by Blogger.
close