Pendekatan Psikologis untuk Mencegah Pornografi


Oleh: Imam Nawawi

Tak hanya narkoba yang dapat merusak otak, pornografi pun demikian, bahkan jauh lebib buruk.

Jika kecanduan narkoba dapat merusak tiga bagian otak, maka pornografi yang berketerusan (kecanduan) mampu merusak lima bagian otak.

Bagian otak yang paling dirusak oleh pornografi adalah pre frontal cortex (PFC) yang membuat seseorang sulit membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, serta mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls.

Oleh karena itu, menolak pornografi adalah keniscayaan, jika tidak maka masyarakat akan menjadi pihak yang paling dirugikan, yang pada akhirnya akan merusak ketahanan dan keberlangsungan bangsa dan negara.

Namun tantangannya sungguh tidak ringan, pornografi sangat mudah dijangkau.
Data Yayasan Buah Hati pada 205 menunjukkan dari 1.705 murid SD kelas 4 sampai dengan kelas 6 di Jabotabek, 25% telah mengakses dan mengonsumsi media pornografi melalui HP, 20% melalui internet, dan sisanya melalui media lainnya (Lihat Buku Pornografi Dilarang Tapi Dicari, halaman: 4).

Artinya, Indonesia telah cukup lama dijangkiti penyakit paling membahayakan masa depan generasi bangsa ini.
Terlebih jika mengacu hasil riset lembaga pemerhati internet Jejak Kaki Internet Protection di DKI Jakarta (Majalah Kartini 27 April - 11 Mei 2006) menunjukkan bahwa 97% anak mengetahui mereka bisa mendapatkan situs berbau pornografi di internet.

Sementara itu data Ecpat, sebuah lembaga perlindungan hak anak internasional menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara di Asia selain Philipina, China, Thailand, Kamboja dan lain-lain yang menjadi pusat perdagangan pornografi anak.

Artinya, massifnya teknologi informasi mendatangkan tantangan tersendiri bagi para orangtua untuk bagaimana melindungi buah hatinya dari paparan bahaya pornografi.

Terlebih pergaulan secara luas tidak menjamin terlindunginya anak-anak dari bahaya pornografi.
Sebab boleh jadi dan tidak menutup kemungkinan, siapapun dari kalangan anak-anak bisa saja secara diam-diam membuka konten-konten porno ketika dirinya merasa tak terawasi kedua orangtua, guru atau pun lingkungan sosialnya.

Di sini orangtua perlu berdialog dengan putra-putri mereka, sebab bagaimanapun canggih aplikasi pencegah konten pornografi, pendekatan psikologis yang dibangun berdasarkan keakraban anak dengan orangtua jauh lebih efektif untuk menekan rasa ingin mengakses pornografi dari dalam diri mereka sendiri.

Mengingat pornografi bisa menimbulkan rasa ingin lagi dan ingin lagi mengaksesnya, orangtua mesti benar-benar cermat dalam masalah ini.

Psikolog Elly Risman mengatakan bahwa anak yang kecanduan pornografi akan menjadi dissensitifisasi.
Anak tidak akan melihat gambar porno yang sudah dilihat, tapi akan mencari gambar porno yang lebih dari gambar sebelumnya, karena rasa sensitifnya hilang. Dia ingin melihat dua, tiga, empat dan seterusnya.

Di sini orangtua bahkan mesti juga mengenal siapa teman dari buah hatinya. Sebab media pornografi sangat beragam, mulai dari komik, situs, video, game, dan media lain. Kata Elly Risman, tidak sedikit anak mendapatkan pornografi justru kala ada di rumah sendiri.

Dengan demikian, tugas orangtua memang tidak ringan, maka selain menyekolahkan, mengawasi dan merekomendasikan teman yang baik, yang sholih atau sholihah sangat penting bagi anak, termasuk mendorong diri untuk lebih dekat dengan agama agar anak kita selamat dari beragam bahaya, terutama pornografi.||




Powered by Blogger.
close