Ringkas dan Mudah Dipahami
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Di antara bentuk hilm atau
kelembutan yang berbalut kesabaran adalah menahan diri saat marah, mencegah
diri sendiri dari memberikan hukuman kepada anak. Meskipun telah jelas
bersalah, ada kalanya kita perlu menahan diri sejenak untuk kebaikan yang lebih
besar. Alih-alih menghukum anak, kita memilih untuk berbincang dari hati ke
hati dengan anak agar dapat menggali lebih jauh apa yang terjadi pada diri
anak.
Kapan kita patut menahan diri
dari menghukum anak? Ketika sebuah kesalahan berulang terjadi, sementara anak
tidak bermaksud untuk mengulang-ulang kesalahan, kita perlu menggali apa yang
menyebabkannya tergelincir kembali pada kesalahan yang sama. Kadang orang
sangat tidak ingin melakukan sebuah kesalahan, tetapi ia tidak mampu menghadapi
dirinya sendiri, hawa nafsunya sendiri, sehingga mengulang kesalahan yang sama.
Anak-anak semacam ini perlu kita bantu untuk dapat keluar dari masalah yang
dihadapinya.
Kita perlu kelembutan al-hilm
(الØلم), dan kita pun memerlukan al-‘anah (الأناة) atau kesanggupan untuk tidak
tergesa-gesa mengambil sikap sebelum jelas betul duduk perkaranya. Kita
melakukan tabayyun (konfirmasi) dan tatsabbut (memastikan maksud) kepada anak
atas apa yang dilakukannya. Tidak cukup hanya tabayyun saja. Tetapi, adakalanya
kita tetap harus menahan diri manakala kita mendapati ada hal yang perlu kita
gali lebih jauh. Ada hal yang perlu kita luruskan agar lebih kokoh. Bagaimana
caranya? Mendengarkan lebih banyak. Mendengarkan dengan lebih baik, sebab
mendengarkan merupakan bentuk perhatian.
Ada anak yang hampir tidak
pernah memperoleh pujian dari orangtua, tetapi ia merasa sangat dicintai oleh
kedua orangtuanya. Ia juga merasa diterima, dihargai dan didengar
pendapat-pendapatnya. Anak merasa orangtua sangat peduli dan penuh perhatian
kepadanya. Apa sebabnya? Orangtua mendengarkan anaknya, menanggapi
pembicaraannya dengan antusias. Mendengarkan (استمع), bukan sekedar mendengar
(سمع). Tetapi runyamlah pendidikan anak di rumah jika orangtua tidak
mendengarkan anaknya, tidak pula pernah memujinya. Sekali waktu memuji, itu pun
tidak tulus. Orangtua memuji hanya ketika ada maunya.
Hisyam Attalib dan
kawan-kawan menulis dalam buku bertajuk Parent-Child Relations: A Guide to
Raising Children (IIIT, London, 2013), “Kita sering menganggap orang lain
“terlalu banyak bicara”, tetapi pernahkah kita menganggap mereka “terlalu
banyak mendengarkan”? Mendengarkan adalah perhatian. Semakin keras kita
berbicara, semakin cepat anak menutup telinga.”
Tetapi anak tak akan
bercerita dengan sendirinya jika ia tidak benar-benar merasa nyaman dengan
orangtua. Menyuruh anak menceritakan isi hatinya bukanlah cara yang tepat jika
anak belum merasa diterima apa adanya. Anak akan lebih mudah terbuka jika kita
mengajaknya berbincang ringan untuk membangun suasana nyaman. Kita menahan diri
dari menasehati anak bukan karena nasehat itu tidak penting, tetapi karena
nasehat yang paling baik pun perlu kesabaran untuk menunggu saat yang tepat
menyampaikannya.
Ketika anak sudah dapat
bersikap terbuka kepada orangtua, usahakan untuk menerima apa pun yang
diceritakan. Jika ada yang tidak pas, atau memang perlu dikoreksi, tunggulah
dulu hingga anak tuntas bercerita. Jangan terburu-buru. Memotong perkataan anak
saat mulai terbuka menuturkan keadaannya membuat anak kembali menarik diri.
Alih-alih meluruskan yang bengkok mengoreksi yang salah, justru menjadikan kita
tidak mengetahui secara utuh kesalahan tersebut dan sebabnya. Sebaliknya,
tatkala kita mau mendengarkan suara hati anak dengan baik, ia cenderung merasa
plong; lega sesudah bertutur sehingga dapat diajak melihat kesalahannya sendiri
dengan jernih atau memahami masalah secara utuh.
Adakalanya kita perlu
menasehati anak secara langsung. Tetapi tidak jarang memperbanyak mendengar
dengan lebih aktif mengajukan pertanyaan sebagai cara memberi umpan balik
–bukan menyudutkan anak—justru menjadikan anak lebih mudah memahami masalah
serta kekeliruan dirinya. Ini memudahkannya untuk berbenah memperbaiki diri.
Ada sebuah nasehat yang
dinisbahkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu: “Barangsiapa yang
paling baik dalam mendengarkan, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat.”
Semakin baik kita
mendengarkan anak, semakin kita memahami apa yang dialami dan dirasakan anak.
Dari sinilah kita dapat memberikan nasehat secara ringkas dan mengena.
Ingatlah, kaidah nasehat itu qalla wa dalla (ringkas dan mudah dipahami). Salah
satu yang kita perlukan agar perkataan kita mudah dipahami anak adalah
menyampaikan nasehat yang sesuai keadaan anak. Dan ini pintu awalnya adalah
mendengarkan.
Qalla wa dalla berarti kita
tidak berpanjang-panjang memberikan nasehat sehingga sepanjang perjalanan, anak
terus dihujani nasehat. Nasehat yang ringkas dan mudah dipahami akan lebih
membekas, muda pula diingat anak.
Semoga Allah Ta’ala perbaiki
kita dalam mendidik anak. Semoga Allah Ta’ala baguskan keturunan kita dan
jadikan mereka keturunan yang bersih jiwanya dan mereka termasuk orang-orang
yang shalih.
Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Post a Comment