7 Ciri Orangtua Gagal
Oleh: Galih Setiawan
Tidak ada sekolah formal yang mengajarkan kita untuk menjadi orangtua. Karena itu, orangtua harus selalu memiliki ilmu terkait kepengasuhan. Jangan sampai kita salah dalam mendidik. Sebab salah dalam mendidik akan merusak masa depan anak.
Gagal dalam bisnis masih bisa diulang lagi dari awal. Gagal dalam ujian masih bisa mengulang lagi tahun depan. Gagal mendidik anak? Tentu bahaya, sebab tak akan bisa diulang lagi. Karena itu, sejak awal kita selaku orangtua harus menghindari beberapa hal yang akan mengantarkan kita pada jurang kegagalan dalam mendidik anak.
Setidaknya ada tujuh ciri orangtua yang gagal mendidik anak. Pertama, sering mengeluarkan kata-kata sumpah serapah, makian, dan kutukan pada anak, misalnya “Anak bodoh..., anak nakal, anak kurang ajar,....” dan sebagainya. Pernahkah kita mengucap kata makian pada anak kita? Astaghfirullah, kata yang diucap orangtua bisa menjadi doa untuk buah hatinya, apalagi hardikan bisa merusak sel otak anak kita, Jika kita pernah melakukannya, mari beristighfar dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Kedua, membanding-bandingkan anak. Banyak orangtua yang secara tidak sadar membandingkan anaknya dengan anak yang lain. Baik saudaranya, atau teman sepermainan. Misalnya dengan mengucapkan, “Kamu tuh...., kakakmu nilai matematikanya 8, kamu kenapa kok dapat 5 terus?”
Mungkin maksudnya baik, yakni ingin menyemangati. Namun tahukah kita bahwa membandingkan dengan anak lain itu sangat menyakiti hati anak. Seolah anak kita inferior di hadapan orang lain. Jika hal ini terus dibiarkan, anak akan menjadi sosok yang tidak percaya diri.
Ketiga, menasihati anak atau memarahinya di depan orang lain. Menasihati anak di depan orang lain bisa membuatnya malu karena tampak bodoh, apalagi kalau sampai orangtua memarahi anak di depan umum. Anak akan merasa kehilangan harga diri, dan kemungkinan orang lain membully dirinya bisa lebih besar.
Keempat, memaksa anak agar menjadi seperti yang orangtua inginkan. Banyak orangtua yang mengikutsertakan anak dalam kegiatan les yang sebetulnya tidak perlu. Kalau anak memang senang, rasanya tidak ada salahnya, apalagi kalau ia menikmati semua les tersebut. Tapi kalau anak justru merasa stres dan bahkan depresi, maka hindari kebiasaan seperti ini. Apalagi jika memang les tersebut memang bukan bakat yang diminati anak. Kita memaksa anak les menari, namun ternyata anak lebih enjoy kegiatan melukis. Kuncinya, orangtua harus tahu apa bakat dan minat anak sehingga dapat mengarahkan, bukan menyetir.
Kelima, selalu meminta anak memperoleh nilai terbaik dan tidak mentolerir kegagalan. Orangtua yang bijak akan memberi ruang untuk anak melakukan kesalahan dan membiarkan mereka belajar dari kegagalan yang pernah dialaminya, karena menyadari pentingnya kegagalan untuk mendidik anak lebih kuat dan bersabar. Akan tetapi orangtua yang salah pola didiknya akan menerapkan cara perfeksionis di mana anak tidak boleh gagal sekalipun.
Keenam, jarang berinteraksi atau mengobrol bebas dengan anak. Hanya sekadar memakaikan anak baju, memandikan, menyuapi, dan meninabobokan tidaklah dapat dikatakan telah berinteraksi dengan anak. Apakah kita sudah tahu kegiatan kesukaan anak? Pelajaran apa yang mereka anggap sulit? Siapa teman terdekat mereka? Siapa guru yang mereka sukai? Apa yang terjadi hari ini di sekolah mereka?
Kita akan mengetahui banyak hal tentang anak-anak ketika mengobrol bebas dan lepas dengan mereka.
Ketujuh, tidak mau meng-upgrade diri dengan ilmu parenting terkini. Tantangan dunia kepengasuhan makin rumit. Orangtua yang tak mau tahu dengan ilmu parenting terkini berarti tak mengerti tingginya kedudukan ilmu dalam Islam. Banyak yang perlu dipelajari karena hubungan orangtua dengan anak bisa menjadi hubungan yang sangat rumit.
Semoga kita senantiasa terjaga dari hal-hal yang membuat kita gagal dalam mendidik anak. Aamiin....
Penulis: Galih Setiawan, Sekretaris Redaksi Majalah Fahma
Post a Comment