Anak Sebagai Sumber Narsis
Oleh
: M. Edy Susilo, M.Si.
“Kok,
kebangetan banget nggak kasih kabar?
Apa susahnya SMS? Begitu rentetan pertanyaan teman saya yang berada di luar
kota ketika dia tidak mengetahui kalau saya sudah memiliki anak. Ada perasaan
kecewa dan sedikit marah dalam pertanyaannya. ”Kayak nggak nganggap teman saja,” sungutnya
Begitulah
reaksi teman saya ketika kami bertemu setelah sekitar tiga tahun tidak berjumpa.
Saya tidak menduga reaksi teman saya akan seperti itu karena memang ketika anak
saya lahir, saya hanya menginformasikan kepada keluarga. Teman-teman tahu
dengan sendirinya. Tidak ada satu
SMS pun yang saya kirim kepada teman-teman. Saya pun sama sekali tidak
menuliskannya di status saya di social
media. Mengapa?
Sebagai
orang yang diberi keturunan dalam usia yang tidak muda lagi, awalnya saya
membayangkan akan sangat senang ketika istri saya melahirkan. Saya mungkin akan
berjingkrak seperti para suami di sinetron Indonesia. Saya akan
teriakkan kepada semua orang bahwa saya sudah memiliki keturunan. Tapi, semua
itu tidak saya lakukan.
Memang
benar saya bahagia dan bersyukur, tapi rasa itu kalah oleh perasaan khauf saya menerima amanah ini. Bisakah
saya mengoptimalkan tumbuh kembang jasmani dan rohaninya? Mampukah saya mengantarnya menjadi insan kamil? (manusia sempurna? : redaksi) Tanggungjawab menjadi orangtua lebih
mendominasi perasaan saya ketimbang rasa senang memiliki momongan. Ada ayat
dalam Alquran yang mengetuk halus kesadaran saya.
“Dan ketahuilah, hartamu dan anak-anakmu
itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar” (QS 8:28). Itulah alasan pertama, mengapa saya tidak
mengirim SMS kepada teman-teman saya.
Alasan
kedua, saya sungguh tidak ingin menjadikan anak saya menjadi bahan narsisisme. Narsis,
istilah yang populer pada era social
media ternyata sudah lama menjadi
kajian dalam psikologi komunikasi. Para peneliti seperti Anita Vangelisti, Mark
Knapp, dan John Daly memperkenalkan istilah conversational
narcisism. Komunikator yang narsis memiliki beberapa karakteristik yaitu
self love,
kecenderungan melebih-lebihkan arti penting diri sendiri; talking about
yourself in a very proud way; suka mengontrol alur pembicaraan; mencari kesempatan untuk dapat berbicara tentang dirinya sendiri; untuk lebih “meyakinkan”, mereka menggunakan kode nonverbal dan perilaku
“exhibionist”
lainnya; tidak sensitif dan responsif pada orang lain.
Anak
merupakan salah satu bahan yang cukup “menggoda” untuk dijadikan sebagai bahan
narsis. Orangtua yang narsis akan mudah dikenali karena dari lima menit pertama
pembicaraannya, ia akan mulai bercerita tentang kelucuan anaknya, prestasinya,
gantengnya atau cantiknya. Seolah hanya dialah di dunia ini yang memiliki anak.
Rasa cinta yang berlebihan membuat orangtua tidak pernah (mau) melihat
kekurangan anak.
Apabila
dalam sebuah kompetisi anaknya tidak berhasil memenangi juara, maka orangtua tipe ini tidak akan menerima kekalahan
tersebut. Selalu ada dalih yang dikemukakan, misalnya penilaian tidak objektif.
Karena ia hanya terfokus pada anaknya sendiri, maka ia menepis kemungkinan
bahwa ada anak lain yang lebih baik lagi kemampuannya. Mereka lupa bahwa tiap
anak punya keistimewaannya masing-masing.
Tugas
orangtua adalah mengasuh anak-anaknya seoptimal mungkin, bukan
memamerkannya kepada orang lain. Masih sangat panjang tugas yang harus diemban
orangtua dalam mengasuh anak-anaknya. Selain upaya, orangtua hanya bisa
mengiringinya dengan doa yang tak pernah
putus, semoga anak-anak menjadi generasi yang shalih dan shalihah.
Namun
demikian, saya tidak akan menghakimi bahwa mereka yang menyampaikan kabar
gembira atas kelahiran anaknya selalu berkategori narsis. Bisa saja mereka
memang ingin berbagi syukur dan mengharap doa dari handai tolan dan sahabat.
Oleh karena itu, kalau anak-anak saya berikutnya lahir, saya akan sampaikan kabar
ini kepada sahabat saya. Semoga ini bisa melerai salah paham dan retaknya
hubungan kami selama ini.
Penulis : M Edy Susilo, M.Si.
Dosen FISIP UPN Veteran Yogyakarta
Post a Comment