Asyiknya Saling Memahami
Oleh : M. Sutrisno
Membangun hubungan pergaulan yang kuat, sehat,
penuh manfaat dibutuhkan beberapa tiang penyangga. Antara lain, kesediaan
saling mengenal, saling memahami, saling menolong, dan saling
memberi jaminan di antara kita. Ringkasnya dikenal dengan istilah ta’aruf,
tafahum, ta’awun, dan takaful.
Setelah saling mengenal mestinya kita saling memahami. Ini penting
agar kesalahpahaman bisa dijauhi. Kita pahami sifat dan karakter masing-masing,
kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan, apa yang disukai dan apa
yang dibenci. Berawal dari saling memahami, lahirlah saling mencintai,
saling berbagi, lalu saling peduli.
Ada banyak orang yang telah sekian lama mengenal dan bersahabat
tapi tidak juga saling memahami. Akibatnya salah paham di antara mereka masih
sering terjadi. Tidak sedikit pasangan suami-istri yang sudah lama menikah tapi
tidak banyak saling memahami. Tak heran jika konflik sering muncul hampir
setiap hari. Hubungan antara orang tua dan anak
seringkali rusak karena tidak ada kesediaan saling memahami.
Orang tua mestinya mau dan mampu memahami anaknya,
begitu juga sebaliknya. Contohnya, orang tua dan anak
sama-sama memiliki sifat fitrah. Salah satu sifat fitrah anak adalah
menginginkan perlindungan dan bimbingan (QS. Al-Isra’: 24). Salah satu sifat fitrah orang tua adalah senang punya anak
yang shalih-shalihah (QS. Ali Imran: 38), atau memiliki anak
yang bisa menjadi penyejuk hati atau qurrotu a’yun (QS.
Al-Furqon: 74). Sebagai anak yang memahami orang tua, ia mesti
berusaha menjadi anak yang baik.
Dengan saling memahami, kita akan lebih berhati-hati dalam berpikir,
bertutur kata, dan bertindak. Jika kita paham bahwa hampir setiap anak tidak
suka disalahkan, kita pun mesti berhati-hati untuk tidak mudah
menyalahkan. Jika pada dasarnya, anak-anak tidak suka diberi ‘cap’ buruk,
kita pun mesti bijaksana untuk tidak suka memberi cap jelek pada anak. Begitu
seterusnya.
Tidak sedikit orang tua yang sudah
bertahun-tahun punya beberapa anak, tapi tidak mampu memahami anak-anaknya.
Akibatnya, banyak orang tua yang melakukan kesalahan dalam mendidik
anak-anak tercinta. Inginnya menasehati anak agar menjadi baik tapi
caranya keliru sehingga tidak ada hasilnya. Bukannya sang anak menjadi patuh
tapi malah berani membantah.
Alangkah indahnya jika kita bisa mengerti “siapa sebenarnya”
anak-anak itu? Alangkah asyiknya jika kita bisa memahami psikologi anak meski
baru sebatas yang praktis-praktis. Dengan demikian, kita tidak akan keliru lagi
dalam bersikap terhadap anak-anak, tidak akan salah dalam mendidik mereka.
Kesuksesan membangun generasi penyejuk hati pun bisa diwujudkan.
Orang tua mestinya memahami ciri-ciri atau
sifat-sifat anak secara umum (psikologi anak praktis). Antara lain, anak-anak
memilik sifat dinamis/motorik (banyak bergerak), berpikir konkrit/indrawi,
sehingga belum matang berpikir abstrak. Anak-anak juga punya perasaan sensitif
dan emosinya labil, misalnya mudah marah, mudah senyum, mudah menangis.
Anak-anak juga hidup dalam dunia bermain sehingga mustahil
memisahkan mereka dari permainan. Mereka juga sangat pendek kemampuan
konsentrasinya, mudah kagum dan meniru, punya sifat ketergantungan sehingga
butuh dimotivasi terus. Mereka tumbuh dan berkembang berdasarkan proses
belajar dan melalui tahap-tahap tertentu. Dan yang pasti, anak-anak bukan
orang dewasa bertubuh kecil. Tidak tepat jika orang tua selalu
memperlakukan anak-anak yang masih kecil seperti layaknya orang dewasa.
Penulis : Aktivis Yayasan Pusat Dakwah & Pendidikan “Silaturahim Pecinta Anak-anak” (SPA) Indonesia
Post a Comment