Emak Kekinian yang Berkelahi dengan Anaknya


Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
 
Balita cantik itu menangis keras. Usianya mungkin baru 3 tahun. Ia berdiri di kursi empuk sebuah lounge eksekutif salah satu maskapai penerbangan. Tangisnya bertambah, sementara emaknya sedang asyik dengan gadget, tersenyum entah dengan siapa.

Balita cantik lucu itu menangis lebih lantang. Ia acak-acak rambutnya sendiri. Rupanya cara ini cukup ampuh untuk merebut perhatian emaknya. Bukan dalam bentuk senyuman atau dekapan penuh sayang, tetapi perhatian yang berwujud luapan emosi. Perempuan muda itu dengan muka memerah karena marah, melotot menghardik balita cantik itu seraya memukuli tangan dan badan anaknya. Sepertinya perlu pukulan yang lebih keras agar anak itu tunduk. Tetapi balita mungil itu seolah mendapatkan pelatihan sehingga ia langsung melakukan hal yang sama, yakni balas memukul emaknya yang dipanggil dengan sebutan "Mama". Tindakan balita yang tampak sangat imut tersebut rupanya memicu kemarahan yang lebih besar sehingga menyebabkan ayahnya turun tangan. Bukan melerai, tetapi ikut mengeroyok dengan pukulan, bentakan dan sorot mata yang sangat tajam. Mukanya memerah, merah padam. Tak kuasa aku melihatnya.

Balita mungil itu akhirnya tak berdaya. Tak berani lagi melawan dua orang dewasa yang mengeroyoknya. Ibarat mobil yang sedang mengebut, balita mungil itu segera mengerem mendadak tangisnya. Sesudah itu ia segera pasrah untuk dibenahi dandanannya. Ia dingin seperti boneka.

Sesaat kemudian, ibunya pun segera asyik dengan gadget, sementara sang ayah terus mengawasi dengan tingkat kewaspadaan tinggi. Tatapannya tajam. Menakutkan. Sesekali ketika sesenggukannya terdengar keras, segera perempuan muda itu mengarahkan pandangannya ke balita tersebut, menatapnya dengan tajam dan kadang beriring pukulan ke tangan.

Suasana reda sejenak. Tetapi aku yang duduk tak jauh dari mereka, masih merasa tidak nyaman. Bukan karena tangis anak. Bukan. Itu sangat wajar terjadi. Apalagi jika ia tak punya cara lain untuk membuat kedua orangtua memberi perhatian kepadanya. Aku merasa tidak nyaman justru karena tak kuat hati melihat balita mungil itu harus dikeroyok oleh kedua orangtuanya sendiri.

Rupanya balita lincah ini masih belum menyerah. Ia ambil sepatunya sendiri, kemudian melemparkan ke sembarang arah. Satu di antaranya jatuh di hadapanku. Sepatu yang membuatku bingung harus bersikap bagaimana. Mau tersenyum untuk menyapa anak cerdas itu, tetapi akhirnya memilih menahan diri agar tak menyinggung, meski sempat memberikan sedikit senyuman kepada balita itu.

Sang ayah segera bereaksi. Ia suruh istrinya segera mengambil sepatu yang dilempar. Kemudian segera tenggelam lagi dengan gadget. Tetapi peristiwa itu telah memberi pelajaran bagi balita cerdas ini bahwa melempar sepatu merupakan cara yang ampuh. Ia pun mengambil sepatu ayahnya, juga sepatu emaknya, untuk dilempar ke sembarang arah. Kali ini tindakannya membuahkan reaksi yang lebih serius. Sekali lagi, anak itu dirapikan lagi penampilannya.

Seolah putus asa, balita mungil yang lincah itu kemudian bergegas pergi, memilih duduk jauh terpisah dari orangtua. Seorang petugas menyapanya. Anak itu berbinar-binar bahagia. Sangat sederhana ternyata.

Ibunya yang dipanggil dengan sebutan "Mama" segera bergegas mengambilnya. Kali ini lebih ramah. Tiba-tiba terdengar nada suara yang lebih terasa keramahannya, mengajak balita itu berbincang. Seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya, balita yang polos segera ceria menyambut keramahan emaknya. Antusias ia. Tetapi itu tak lama. Sang emak kembali tenggelam dengan gadget. Dan balita mungil itu pun berusaha mengulang sukses dengan pergi lebih jauh. Duduk menikmati kesendirian. Dipanggil pun ia tak menoleh. Mungkin karena nada panggilannya terasa kasar.

Kali ini ayahnya yang turun tangan. Dengan langkah tergesa-gesa menampakkan marah, sang ayah mendekati anaknya. Dan bersyukurlah, tepat saat ia semakin dekat dengan anaknya, petugas datang seolah malaikat dari surga, memberi sapaan kepada balita yang tak berdosa ini. Menakjubkan, sang ayah tiba-tiba ramah dan menyenangkan. Ia gendong anaknya sembari mengajaknya bercanda.

Ternyata kedua orangtua itu mampu bersikap lembut, sangat ramah dan sigap untuk bersikap hangat menyenangkan. Kalau saja keramahan itu tak hanya saat ada petugas, alangkah bahagia anak balitanya yang cerdas itu. Semoga saja mereka tetap ramah hingga di rumah.

Balikpapan, 30 Mei 2018
Powered by Blogger.
close