Lebih Utama Daripada I'tikaf Sebulan Penuh
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada 'amalan sunnah yang utama untuk dikerjakan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sekiranya memungkinkan, sangat baik kalau kita berusaha melapangkan waktu untuk melakukan i'tikaf selama 10 hari penuh atau dalam masa yang lebih singkat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
كَانَ النَّبِىُّ (صلى الله عليه وسلم) يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari).
Kalangan ulama Malikiyah banyak yang berpendapat bahwa i'tikaf itu dilakukan selama 10 hari. Tidak kurang dari itu. Tetapi mayoritas ulama berpendapat tidak ada ketentuan minimal berapa lama waktu untuk i'tikaf. Kita dapat melakukan selama sehari semalam, bisa pula semalam saja atau sehari saja tanpa malamnya
Mari kita ingat sejenak ketika 'Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata kepada Nabi Muhammad shallaLlahu alaihi wa sallam untuk meminta fatwa beliau:
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال : فأوف بنذرك ، فاعتكف ليلةً
“Saya pernah bernazar di masa jahiliah, bahwa saya akan melakukan i’tikaf selama satu malam di Masjidil Haram. Beliau bersabda, “Kalau begitu penuhilah nazarmu!” Maka Umar pun melakukan i’tikaf satu malam.” (HR. Al-Bukhari).
Berdasarkan hadis ini, maka para ulama mengemukakan bahwa i'tikaf dapat dilakukan dalam waktu satu malam saja. Tidak sampai sehari semalam. Ini telah mencukupi untuk disebut i'tikaf sejauh memang diniatkan sebagai i'tikaf
Beruntunglah orang yang dapat melakukan i’tikaf dan mengisinya dengan zikruLlah. Inilah keutamaan yang sangat besar. Semoga kita semua berkesempatan melaksanakannya
Akan tetapi ada yang tidak memungkinkan beri'tikaf disebabkan harus menolong orang lain yang sedang ditimpa kesulitan. Ia disibukkan mengerjakan urusan untuk menghilangkan kesusahan pada orang lain. Inilah antara lain amalan yang justru lebih utama dibandingkan i'tikaf sebulan penuh di Masjid Nabawi.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا
“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan penuh.” (HR. Thabarani).
Nah.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku
Post a Comment