Jangan Egois


Oleh : Zakya Nur Azizah

“Uh…., Bunda…., ini lho…,” rengek Naura ketika melihat Faiza, yang baru berusia 2 tahun memegang bonekanya. “Ada apa to sayang? Kan dek Faiza cuma memegang mainannya. Nanti pasti dikembalikan lagi, insya Allah nggak rusak kok,” ujar sang bunda pada Naura. “Iya, mbak Naura, tuh bonekanya malah ditimang-timang sama dek Faiza. Sebentar lagi dikembalikan kok,” celetuk ibunda Faiza yang juga menemani Faiza bermain di rumah Naura.

“Uh…., Bunda sekarang mobil-mobilanku yang dipegang.Kembali Naura merengek. Melihat sifat egois putrinya, sang bunda pun menghela nafas sejenak. Didekatinya sang putri, sambil mengelus kepala Naura, sang bunda pun berkata, ”Naura, kalau sedikit-sedikit kamu melarang teman kamu memegang mainanmu, nanti bagaimana teman-teman mau akrab sama kamu?” Sambil menatap bundanya, Naura pun menjawab, “Aku takut mainanku rusak, Bunda.” Mendengar jawaban Naura, bunda kembali tersenyum. “Naura, kalau takut rusak, mending mainannya disimpan saja. Tidak usah dipakai main. Kalau kamu sama sekali tidak membiarkan teman kamu memegang mainanmu, lalu suatu ketika ada teman yang punya mainan, lalu kamu ingin meminjamnya, tapi dibalas dengan hal yang sama yang kamu lakukan bagaimana rasanya?”

“Ya, sedih dan kecewa, Bunda. Kan aku ingin ikut bermain juga,” jawab Naura. “Nah, kalau begitu, Naura jangan egois. Insya Allah, dengan mau berbagi, baik mainan, makanan atau yang sejenisnya, kita akan lebih mudah berteman. Mereka pun akan merasa nyaman berteman dengan kita,” tutur sang bunda dengan lembut.

Sifat egois memang selalu ada pada diri anak. Akan tetapi bukan berarti sifat tersebut harus dibiarkan tumbuh dan menggerogoti kehidupan anak. Sebagai orangtua, kita harus memberantasnya. Harapannya anak dapat tumbuh dalam kepedulian terhadap sesama. Ingat manusia adalah mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Kita selalu membutuhkan peran serta orang lain dalam kehidupan ini.

Cara termudah untuk mengajari anak agar tidak egois ialah dengan memberikan contoh atau teladan yang baik. Anak belajar dari melihat, terutama apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Bila ia selalu melihat orangtuanya tidak sungkan untuk memberi atau berbagi dengan yang lain maka anak pun akan ikut melakukannya. Sebaliknya bila ia sering melihat ayahnya suka memarahi orang lain maka anak pun akan ikut suka memarahi teman-temannya.

Tutur kata memang penting tetapi yang lebih penting lagi ialah perbuatan. Jika anak sering melihat orangtuanya tidak sungkan ketika memberi, suka berbagi makanan dengan temannya, berbagai cerita dengan anak, dan hal-hal baik lainnya maka anakpun akan menirukannnya. Anak memang cenderung ingin menang sendiri, ingin apa-apa untuk dirinya sendiri. Namun, anak juga dapat diarahkan karena mereka adalah peniru yang baik.

Tips:
ü  Jangan selalu menuruti kemauan anak. Tangis adalah ekspresi ketidaknyamanan di samping protes dan marah. Biarkan sesuatu berjalan alami. Kadang kita perlu membiarkan anak menangis untuk sementara waktu, sebelum kita menghentikan dengan memenuhi kebutuhannya, bukan kemauannya, sehingga anak terbiasa untuk menunggu dan terlatih untuk lebih sabar.

ü  Ajak anak untuk bergaul dan bersosialisasi dengan sesamanya. Konflik yang terjadi misalnya seperti merebutkan mainan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendidik. Tentunya dengan syarat tidak terlalu membela anak kita. Bila anak kita salah, maka ajarkan yang benar dengan penuh kelembutan. Jelaskan semampu kita, meski mereka belum tentu dapat menangkap penjelasan dengan baik karena berusia sangat muda.

ü  Latihlah anak kita untuk memberi seperti makanan kecil lewat tangan mereka sendiri kepada teman-teman sebayanya dan untuk berinfak di masjid.

ü  Hargai anak kita meski masih sangat kecil dan orang-orang di sekitar kita seperti saudara, orangtua dan teman-temannya karena itu akan mengajarkan dia untuk menghargai orang lain.

Penulis : Zakya Nur Azizah, Pemerhati dunia pendidikan, tinggal di Bantul


Powered by Blogger.
close