Jawaban Ahli Fiqih dan Diamnya Ahli Hadits
Oleh : Salim A. Fillah
Para ‘ulama sejati bukan hanya
bertugas menjaga khazanah ilmu. Mereka harus memberi penyelesaian atas
persoalan masyarakat, yang kadang justru karena sederhananya; memerlukan
kedalaman pemahaman untuk menjawabnya.
“Suatu kali”, demikian dihikayatkan
Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang
perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di
antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibn Ma’in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn
Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits,
mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”
Ketika mereka sedang saling berbagi
hadits, tetiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku
adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah.
Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang
dalam keadaan haidh?”
Semua ‘ulama besar yang hadir waktu
itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama
lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung
untuk menjawab persoalan itu.
Ketika majelis itu terjeda hening
karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur,
murid Imam Asy Syafi’i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke
arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut,
“Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari
pemilik akal separuh penduduk dunia.”
Perempuan itupun menoleh dan
mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan
dirinya, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”
Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu
saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu
dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim
ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi ï·º
pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga
berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, “Aku pernah menyirami, membasuh, dan
membersihkan kepala Rasulullah ï·º dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau,
menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”
“Apabila kepala orang hidup saja,
dan bahkan adalah Nabi ï·º”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan
dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu
kebolehannya lebih jelas lagi.”
Mendengar jawaban yang sangat jeli
itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan
membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau
jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah
menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui
riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam
riwayat hadits tersebut.
Melihat hal ini, si tukang
memandikan jenazah berkata heran, “Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?”
Kisah ini sama sekali bukan dalam
rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini
hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi’i. Beliau
menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang
khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits
adalah apotekernya.
Sudah seharusnya mereka
bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak
paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih
banyak membuat bid’ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang
shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan
tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal
mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.
Maka dalam menjawab persoalan
ummat, keduanya amat dihajatkan. Sebab ada juga waktu di mana seorang Ahli
Hadits sekaligus Ahli Fiqih harus meluruskan berlebihannya orang dalam
beragama, agar tak menyusahkan diri dalam apa yang syari’at memberi keluasan
padanya.
“Wahai Imam”, ujar seseorang pada
‘Alimnya Tabi’in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya’bi, “Jikalau aku mandi di
sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat,
membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika
suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”
Imam Asy Sya’bi tersenyum.
“Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar
jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”
Penulis : Salim A. Fillah, Penulis Buku dan Motivator
Sumber : www.salimafillah.com
Post a Comment