Kapan Sebaiknya Anak Mondok (bagian 2)
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
>> Memasukkan Anak Di Pesantren Saat Balita
Sebagian orangtua bertanya tentang memasukkan anak ke pondok pesantren pada saat anak masih di bawa usia lima tahun alias balita. Pertanyaan tersebut mengingatkan saya kepada sebuah hadis yang terdapat dalam Adabul Mufrad. Imam Bukhari memasukkannya ke dalam bab yang diberi judul “Menyayangi Keluarga” untuk menunjukkan bahwa yang demikian ini termasuk bagian dari bentuk kasih-sayang terhadap keluarga, dalam hal ini anak.
Baca : Kapan Sebaiknya Anak Mondok (bagian 1)
Dari Anas bin Malik radhiyaLlahu 'anhu berkata:
كان النبي صلى الله عليه وسلم أرحم الناس بالعيال وكان له بن مسترضع في ناحية المدينة وكان ظئره قينا وكنا نأتيه وقد دخن البيت باذخر فيقبله ويشمه
"Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling sayang terhadap anak-anaknya, dan beliau mempunyai anak yang sedang disusukan pada salah seorang di satu kampung, sedangkan suami orang yang menyusui itu seorang tukang besi. Kami mendatanginya dan rumah orang itu berasap sebab rumput idzir. Lalu Nabi menyayangi dan menciumnya (anak beliau)." (HR. Muslim; Bukhari di dalam Adabul Mufrad).
Hadis ini memberi beberapa pelajaran kepada kita. Pertama, mengenai adanya kebolehan dan bahkan kebaikan menyusukan bayi kepada orang lain, meskipun ibunya dapat menyusui anak tersebut. Kedua, menyusukan bayi kepada ibu susu dapat dilakukan cara bayi tersebut tinggal bersama ibu susu dan berpisah dari ibu kandungnya sampai beberapa masa.
Dari sini kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa seorang anak dapat dipisahkan dari ibunya pada masa bayi. Menyusukan kepada orang lain ini bukanlah terutama berkaitan dengan soal kualitas ASI, melainkan justru yang paling utama adalah proses penyusuannya itu sendiri. ASI sangat bermanfaat. Tetapi ada yang jauh lebih besar, yakni proses penyusuannya. Salah satu pengaruhnya ialah terhadap terjaga tidaknya tsiqah (trust) anak kepada orang dewasa terdekat secara aman dan berkualitas. Ini membawa pengaruh pada kemandirian anak secara emosional. Jika anak tidak memiliki kepercayaan yang aman, misalnya, anak bisa mudah menangis cemas manakala ditinggal oleh ibunya, meskipun ujung jilbabnya masih tampak dan suaranya masih terdengar.
Apa pertimbangan dalam memilih ibu susu? Pertama, kebaikan agamanya. Kedua, keluhuran akhlaknya. Ketiga, kasih-sayang dan kelembutannya dalam mengasuh anak. Keempat, kefasihan lisannya karena ini sangat mempengaruhi perkembangan anak di masa-masa yang akan datang. Kelima atau pertimbangan terakhir barulah faktor yang berkait dengan kemampuannya menghasilkan ASI, karena tidak mungkin menyusukan anak kepada orang yang tidak keluar air susunya.
Apa pelajarannya? Kualitas pribadi ibu susu dalam mengurusi anak dan memberi perhatian secara khusus sangat penting bagi perkembangan anak secara keseluruhan. Nah, inilah yang saya tidak berani menyimpulkan dalam kaitannya dengan pesantren tahfidz khusus balita. Saya juga tidak mendapati riwayat shahih yang dapat menjadi sandaran untuk menyarankan, tidak pula dari psikologi. Saya justru teringat tentang zaman fitnah yang ditandai, pada masa pada masanya (kelak), banyak penghafal Al-Qur’annya, tetapi sedikit sekali fuqahanya, yakni orang yang benar-benar sangat matang ilmu agamanya.
Satu lagi, pembahasan mengenai ibu susu menunjukkan bahwa terpisahnya seorang anak usia balita dari ibu kandung mengharuskan adanya sosok yang dapat memberi perhatian secara personal kepada anak, melimpahinya kasih-sayang, memperhatikan dan memberinya pengasuhan yang baik.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(...bersambung lagi...).
Post a Comment