Kebahagiaan Nyata Ayah dan Anak


Oleh : Imam Nawawi

Menjadi orang tua itu membahagiakan, ya, jika kita mengerti bagaimana menikmatinya secara tepat.
Nabi Muhammad sendiri orang yang super sibuk, namun jika ada kesempatan membersamai keluarga, terutama anak-anak, beliau sangat hangat, akrab dan dekat dengan mereka.
Adalah hal yang cukup sering dilakukan oleh Hasan dan Husain kala masih anak-anak. Keduanya langsung naik ke punggung Rasulullah dan mengimaginasikan manusia agung itu laksana kuda tunggangan.
Seorang sahabat yang menyaksikan adegan itu langsung berkata: “Sebaik-baik kendaraan adalah yang kalian naiki”.
Namun dengan tersenyum Rasul menimpali, ”Dan sebaik-baik pengendara adalah kedua cucuku ini.”
Sejarah itu memberikan bukti daripada teori tentang bagaimana semestinya orang tua, terutama ayah dengan putra-putri mereka. Yakni meluangkan waktu bermain, bercanda dan beraktivitas bersama dengan mereka.
Seorang ayah yang meluangkan waktu bermain dengan putra-putrinya akan merasakan satu kondisi psikoligi yang sangat positif, ada rasa optimisme yang menyeruak, bangga, dan tentu saja bersyukur kepada Allah.
Terlebih kala melihat potensi dan perkembangan sang anak di depan mata, subhanalloh, Allah Maha Memberi Nikmat sangat mudah dirasakan.
Sebagai contoh, pagi tadi saya bersama dua anak saya bermain bola bersama, ditemani dengan beberapa teman dari anak-anak.
Terlihat kemampuannya berdiri dan berlari dengan posisi yang tepat, sehingga arah tendangan kakinya ke bola dapat dilakukan secara tepat. Dan, tentu saja, bola mengarah ke depan dengan kecepatan tinggi untuk ukuran mereka.
Dan, pemandangan semakin asyik, kala teman dari anak kita ternyata juga memiliki kesigapan baik dalam merespon bola yang datang.
Semakin sering mereka saling tendang bola, semakin meningkat skill mereka bermain. Tentu saja pemandangan ini benar-benar membahagiakan.
Menariknya, mungkin bukan saya saja sebagai ayah yang bahagia, anak-anak juga merasakan hal yang sama, bahkan mungkin mereka lebih dari kita sebagai orang tua.
Seorang psikolog mengatakan, efek dari anak yang bahagia kala bermain dengan orang tuanya, mereka akan cenderung untuk kooperatif dan lebih bisa diajak berkembang dalam banyak hal, mulai dari skill membantu pekerjaan rumah hingga durasi mereka belajar di rumah kala malam tiba.
Namun, patut diingat, sekalipun anak adalah dunia main, namun main bukan satu-satunya hal yang patut diarusutamakan. Perlu juga hal lain, seperti belajar, silaturrahim, adab, sopan-santun dan tentu saja kedisiplinan dalam ibadah.
Hanya saja, dalam dua kepentingan di atas, tidaklah perlu kita berpikiran secara dikotomik. Satukan saja dengan menjadikan kesempatan bermain sebagai momentum pendorong kesadaran anak untuk lebih semangat mengisi hidup dengan belajar, ibadah, dan perbaikan adab setiap harinya.
Karena dalam bermain tidak saja ada gerak fisik, tetapi juga gerak mental dan dinamika kesadaran yang sungguh tak akan pernah didapat dari ruang lain, kecuali kebersamaan bermain dengan mereka yang kelak akan menjadi manusia dewasa.
Jika bukan darimu mereka menggali kedewasaan, kebijaksanaan dan keteladanan, maka darimana mereka mendapatkan itu semua, wahai ayah! Wallahu a’lam.
Depok, 14 Januari 2017
ayah dari anak-anak
Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia | www.abuilmia.wordpress.com
Powered by Blogger.
close