Tagihan Listrik Melonjak Tajam
Oleh: Prof. Dr. Ir. Indarto, D. E. A.
“Pak tagihan listrik bulan ini kok naik cukup banyak ya... “
Pertanyaan itu disampaikan oleh seorang istri tetangga kepada suaminya yang kebetulan kami sedang silaturahmi di rumahnya.
“Ah, masak ibu lupa” jawab suami.
“Kan bulan yang lalu si Budi (bukan nama sebenarnya) liburan dua minggu di sini."
Budi adalah suami dari salah satu putrinya yang tinggal di kota lain dan bekerja di salah satu BUMN.
Lalu apa hubungan antara lonjakan biaya langganan listrik dengan keberadaan menantu yang tinggal selama setengah bulan di rumahnya.
Ternyata Budi bersama istri dan anak-anaknya selama berlibur di rumah itu tidak pernah mematikan AC dan lampu kamar-kamar yang mereka tempati, baik itu siang maupun malam.
AC dan beberapa lampu selalu hidup, meskipun mereka tidak membutuhkannya. Bahkan ketika mereka pergi jalan-jalan ke luarpun, peralatan penyedot listrik itu tidak dimatikan.
Jadi alat pendingin udara yang mengkonsumsi listrik dalam jumlah besar itu hidup terus menerus selama mereka tinggal di rumah itu.
Bagaimana tidak melonjak pembayaran listriknya, kalau misal AC untuk satu kamar berkekuatan 1 pk saja sudah menyedot listrik sekitar 750 watt atau 0,75 kwatt. Artinya kalau tarif listrik saat ini untuk penggunaan 1 kwatt selama satu jam sebesar Rp. 1.400,- maka pemakai AC tersebut dalam satu jam harus membayar 0,75 x Rp. 1.400,- atau sebesar Rp. 1.050,- ini untuk satu AC, sehingga untuk dua AC Rp. 2.100,-. Ini baru penggunaan selama satu jam.
Sehingga tidak mengherankan kalau istri tetangga tadi kaget karena rekening listriknya melonjak tajam. Lonjakan rekening yang merupakan pemborosan ini hanya gara-gara pemakaian AC dan lampu-lampu yang tidak diatur dengan baik. Mestinya setiap mereka keluar dari kamar, AC dan lampu dimatikan.
Selain kerugian dalam bentuk pemborosan dari rupiah yang harus dibayarkan, juga kerugian lingkungan.
Ketika AC tidak dimatikan berarti pembakaran bahan-bakar (yang menghasilkan gas CO2) untuk menghasilkan listrik yang dipakai AC tetap berlangsung. Padahal tidak ada orang yang memanfaatkan AC di dalam ruangan.
Seperti halnya ketika ada seminar-seminar di hotel yang pesertanya terpaksa memakai jaket karena kedingingan, gara-gara penyetelan temperatur AC yang terlalu rendah, artinya AC mengambil listrik berlebihan dan ini tidak termanfaatkan, atau bahkan merugikan karena peserta seminar kedinginan.
Kalau diingatkan mungkin mereka akan mengatakan
“Lho...yang membayar listrik kan saya, sehingga saya berhak untuk menggunakan untuk apa saja. Itu terserah saya”.
Kita tidak bisa mengatakan seperti itu. Mereka lupa bahwa setiap sekian kilowatt dari listrik yang dihasilkan oleh PLN, berarti ada sekian kilogram batubara atau minyak yang harus dibakar, berarti ada sekian kilogram gas CO2 yang dilepaskan ke udara yang merugikan semua orang. Termasuk kalau siang hari kita lupa mematikan lampu, berarti kita juga menambah polusi udara tanpa ada kemanfaatan.
Kerugian karena polusi udara tersebut bisa dihilangkan seandainya untuk menghasilkan listrik, kita memanfaatkan energi terbarukan seperti energi air terjun dari bendungan. Juga energi panas bumi atau geothermal yang memanfaatkan uap yang dipanaskan oleh magma di dalam perut bumi, energi angin atau energi matahari.
Semua sumber energi itu dapat menghasilkan energi listrik tanpa adanya proses pembakaran. Sayangnya di Indonesia penggunaan energi terbarukan ini porsinya masih sangat sedikit.
Namun yang cukup menarik selain soal pemborosan rupiah dan polusi udara, adalah perilaku menantu tetangga tadi. Para tetangga sudah tahu bahwa gelar kesarjanaannya adalah ST atau sarjana teknik, yang mestinya dia mengetahui tentang bagaimana cara menggunakan energi dengan benar.
Dengan perilakunya seperti itu, berarti ilmu yang dia pelajari, yang dia dapatkan dari hasil pendidikan di perguruan tinggi tidak dipakai untuk kehidupan sehari-hari, tidak mempengaruhi ketidakpeduliannya terhadap polusi udara.
Memang tidak menjamin bahwa setiap orang akan selalu mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya teman kami seorang dokter yang beberapa waktu yang lalu meninggal karena jantungnya rusak akibat terlalu banyak merokok.
Wallahu Alam Bishawab.||
Penulis: Prof. Dr. Ir. Indarto, D. E. A., Pemimpin umum majalah fahma
Post a Comment