Tak Bercerai tapi Broken Home



Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
 

Ada yang sering menyederhanakan seolah broken home itu adalah padanan kata dari divorced (telah bercerai). Padahal keduanya tidak serta merta serupa. Berapa banyak rumah-tangga yang masing-masing masih berstatus sebagai suami-istri, tetapi keduanya seperti barang pecah, bahkan lebih rawan daripada itu. Barang pecah belah ada yang sangat kokoh, tak mudah pecah meskipun jatuh dua atau tiga kali. Sementara rumah-tangga yang rawan pecah, salah bersikap sedikit saja, seolah dunia di ambang kiamat. Tak ada senyum, tak ada pula jabat tangan. Pernikahan mereka seolah utuh, tetapi sebenarnya remuk redam. Mereka tak bercerai, tetapi broken home dalam arti sesungguhnya. Kalau dibiarkan tanpa penyelesaian yang baik, anak-anak akan sulit bertumbuh dengan baik membentuk pribadi utama yang kokoh, kecuali apabila salah satunya memiliki kesabaran luar biasa untuk tetap lembut, tangguh dan menunjukkan sikap yang tepat dalam mengasuh anak-anaknya.

Tetapi, banyak pula rumah-tangga yang rasanya sudah sangat menakutkan, padahal persoalannya karena langkah yang salah dalam menghadapi masalah. Seolah tak ada lagi harapan karena pertikaian menjadi sayur dan garam kehidupan, hampir setiap hari. Padahal sebenarnya masih ada titik temu yang dapat mereka upayakan.

Ada yang bercerai, tetapi perceraian yang sangat terpaksa ini menjadi jalan untuk memulai kehidupan yang lebih baik bagi keduanya. Perceraian itu halal, meskipun tidak disukai. Maknanya, pada keadaan tertentu ia justru dapat menjadi jalan keluar yang lebih baik dan lebih mendekatkan kepada keselamatan. Jika keduanya tak saling dendam, tidak pula sibuk mengungkit-ungkit keburukan, mereka berpisah jalan dengan tetap saling memberi perhatian kepada anak-anaknya. Dalam keadaan seperti itu, anak-anak justru mendapati tempat bertumbuh yang baik dan orangtua yang memberi dukungan bagi tercapainya pribadi utama yang kokoh. Mereka bercerai justru agar rumah-tangga tidak semakin remuk redam.

Tetapi...

Ada yang menyangka rumah-tangganya sudah hancur. Nyaris tak ada harapan. Padahal sebenarnya masih sangat terbuka jalan yang lapang. Ia merasa ketakutan oleh bayang-bayang masa silam, khilaf berandai-andai dengan masa lalu yang Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam melarangnya karena kata لو (seandainya) untuk masa silam adalah jalan masuknya setan. Sedemikian sering ia mengkhawatiri masa silam sehingga sulit membangun kepercayaan kepada orang yang paling baik sekalipun. Ia sibuk menuju masa lalu, padahal perjalanan ini menuju masa depan. Ia terjebak oleh masa lalu sehingga memunculkan was-was, ketakutan dan bahkan wahm yang menakutkan sampai-sampai menjelma dalam tindakan sehari-hari maupun prasangka setiap waktu.

Ada yang perlu kita perbaiki. Bergeraklah ke masa depan. Insya Allah kita akan berbincang lagi pada kesempatan berikutnya.


Ada beberapa pertanyaan yang diajukan kepada saya (Mohammad Fauzil Adhim, red) dari berbagai pihak. Ini adalah ikhtiar untuk memberi jawaban, merangkumnya dalam pembahasan ringkas yang insya Allah akan bersambung dengan pembahasan berikutnya. Semoga ikhtiar ini bermanfaat bagi yang bertanya maupun saudara seiman lainnya, termasuk yang tidak sedang bermasalah, sebagai bahan refleksi.

Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Penulis buku-buku parenting
Powered by Blogger.
close