Adakah Kita Sabar dalam Mendidik Anak?
Oleh : Imam Nawawi
Ketika Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam menjelaskan kepada kita bahwa belajar itu adalah
kewajiban dari kandungan hingga liang lahat, hal ini benar-benar menyentak
kesadaran kita.
Sebab ternyata
belajar itu tidak sama dengan sekolah. Sekolah ada masanya, sekolah ada
ujiannya, dan sekolah ada kelulusannya. Tetapi belajar tidak kenal dengan itu
semua. Belajar bagi kaum muslimin wajib kapan dan dimana pun.
Dan, kita sering
menemui bahwa ada orang yang cerdas, berpengaruh, justru terkadang tidak lulus
sekolah.
Hal tersebut bukan
berarti sekolah tidak perlu. Tetapi garisbawah yang harus kita pahami dengan
baik adalah bahwa belajar adalah hak dan kewajiban setiap manusia yang siapa
berani belajar, bersungguh-sungguh belajar, maka dia akan menjadi orang yang
berhasil dengan izin Allah.
Kebenaran akan
pernyataan tersebut juga dapat dikonfirmasi dengan kenyataan bahwa ada orang
tua yang biasa-biasa saja pendidikannya tetapi memiliki anak yang sukses dan
beradab. Pada saat yang sama ada orang tua yang tinggi gelar pendidikannya
tetapi anaknya belum berhasil menjadi pribadi yang sukses dan beradab.
Ini artinya masalah
yang mendasar sebenarnya bukanlah pada pendidikan semata-mata, tetapi mental orang
tua di dalam mendidik anak-anaknya.
Banyak orang tua
bekerja Pergi Pagi Pulang Malam, sampai anak-anak tak sempat
bertemu. Kemudian ia lupa berinteraksi apalagi sabar mendidik dan
mengajar yg putra-putrinya dengan kemampuan dirinya sendiri.
Akibatnya anak tidak
memiliki ikatan emosi yang erat. Padahal jika melihat sejarah orang-orang besar
terdahulu mereka menjadi cerdas dan beradab disebabkan pendidikan langsung dari
orang tuanya sejak dini.
Sekarang patutlah
kita melakukan introspeksi diri apakah dalam 24 jam ada waktu yang kita
sempatkan bersama anak-anak untuk mengajarkan mereka. Jika dikatakan telah
disempatkan, apakah kita sebagai orang tua juga telah sabar mendidik mereka.
Tidak jarang orang
tua marah-marah kepada anaknya saat memberikan pelajaran. Alasannya beragam,
mulai dari anak yang lambat merespon, atau fokus anak yang sulit dikendalikan.
Sebagian orang tua Anda yang hanya mengomel, sebagian lain langsung bermain
tangan.
Padahal, dalam hati
kecilnya, ia ingin anaknya menjadi sosok sukses dan beradab. Pertanyaanya,
apakah mungkin tanpa sabar mendidik mereka? Baik sabar dalam arti menemani
belajar, lebih-lebih dalam hal perhatian dan pengasuhan.
Prinsipnya, wujud
konkret sabar dalam mendidik anak adalah hadir, memberikan perhatian, koreksi,
dan yang tak kalah penting adalah keteladanan.
Ralp Waldo Emerson
berkata, “Tidak ada yang lebih indah ketika anak tertidur pulas, kecuali sang
ibu (orang tuanya) yang bahagia telah (berhasil) menidurkannya.”
Jika proses
menidurkan anak saja butuh waktu dan energi, apalagi mengajari dan mendidik
mereka, jelas tak sekedar energi dan spirit yang dibutuhkan, tetapi juga
kesabaran. Allahu a’lam.
Jakarta, 4 Dzulhijjah
1439 H |
Penulis, Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi
Majalah Mulia. Twitter @abuilmia
Post a Comment