Azan Mengalun di Langit Hamburg
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Pagi menjelang siang. Saya baru saja tiba di Hamburg, Jerman, saat itu. Hari Jum’at menjelang musim dingin, orang-orang masih memakai jaket tebal. Tetapi saya tidak memakai pelapis tambahan selain baju yang saya kenakan. Bukan karena tidak dingin, tetapi karena saya sudah belajar dari masyarakat Banjarnegara tempat saya KKN dulu, di puncak bukit yang kadang melihat awan di bawah kita. Awan ternyata tak selalu sangat tinggi di awang-awang.
Pihak panitia menanyakan kepada saya mau shalat Jum’at dimana. Ada beberapa pilihan, yang terdekat adalah masjid Turki. Sebagaimana masjid-masjid di Istanbul, masjid Turki di Hamburg juga menyelenggarakan semacam kuliah agama dalam bahasa Turki sebelum prosesi ibadah Jum’at, yakni khutbah dan shalat, dimulai.
Sebelum berangkat ke Hamburg, saya sudah sempat sarapan, selain membawa snack untuk menemani perjalanan di kereta. Tetapi panitia tetap ingin mengajak saya menikmati suasana Hamburg sejenak. Secara berseloroh panitia menyampaikan tak usah khawatir ketinggalan shalat Jum’at. Masjid dekat dan azan akan terdengar nyaring hingga menembus rumah makan. Saya terkejut, kenapa bisa. Ternyata sudah beberapa tahun azan di sana memakai pengeras suara. Ma sya Allah... ini negeri minoritas muslim, tetapi azan pun dapat memakai pengeras suara.
Kami akhirnya memilih Grand Cafe Back-Lava yang berada di Steindamm 62, 20099 Hamburg. Secangkir kopi dan sepotong kue menemani bincang jelang shalat Jum’at. Sengaja memilih makanan ringan karena seorang teman SMA yang tinggal di Hamburg berencana menjamu kami makan siang di sebuah restoran Turki, tak jauh dari Grand Cafe Back-Lava. Teman saya ini meninggalkan Indonesia begitu lulus SMA di Jombang untuk kuliah di Jerman hingga akhirnya menikah dan bersuamikan orang Jerman yang sama-sama penganut Nasrani. Siang itu dia akan menjamu saya dan panitia. Beberapa kali Noto Voni, teman saya ini, mengkonfirmasikan ke saya untuk memastikan acara makan siang.
Menjelang Dzuhur, Voni datang. Ia membawa anaknya yang masih bayi. Bertemu sebentar di Back-lava, lalu berpindah ke tempat yang telah ia rencanakan. Saya dan panitia menyusul, hanya meletakkan tas sejenak, lalu berangkat ke masjid. Ia persilakan kami untuk melakukan shalat Jum’at dengan tenang. Tak usah khawatir, karena lantunan azan dan iqamat dari masjid terdengar sampai beberapa ratus meter, termasuk di restoran tempat kami akan makan siang.
Pagi ini saya teringat dengan Hamburg ketika membaca tentang riuh-rendahnya pemakaian pengeras suara untuk mengumandangkan azan di Indonesia. Konon, negeri bernama Indonesia yang pada abad XV lebih dikenal sebagai Jawa itu merupakan wilayah berpenduduk mayoritas muslim, meskipun prosentasenya terus-menerus tergerus dari tahun ke tahun.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Motivator
Post a Comment