Meminimalisir Bullying di Sekolah



Oleh: Slamet Waltoyo 

Berperilaku yang baik adalah tujuan utama orangtua menyekolahkan anaknya, di samping menjadi pintar dan terampil.

Pelajaran yang paling banyak disukai oleh anak adalah olah raga. Pelajaran yang paling dikedepankan oleh Guru adalah olah pikir (matematika, IPA, dan sebagainya). Dan pelajaran  yang kurang disukai anak sekaligus dipinggirkan oleh guru adalah olah rasa.

Ketika olah raga dan olah pikir banyak di-olimpiadekan, olah rasa masih diharapkan. Kita tidak menyangsikan lagi kecerdasan otot dan otak anak-anak. Bahkan membanggakan. Yang menyedihkan adalah kecerdasan rasa, kecerdasan emosional.

Betapa tidak. Itulah yang mendominasi permasalahan keseharian di sekolah saat ini. Mulai bermunculan anak alpa datang ke sekolah karena takut dan cemas. Bukan karena sakit (fisik) atau karena tidak mampu mengerjakan tugas. Tetapi karena bullying dari temannya yang menimbulkan kecemasan dan ketakutan saat berada di sekolah.

Bullying adalah salah satu bentuk dari perilaku agresi anak untuk menunjukkan kekuatannya atau dominasinya  yang dilakukan secara berulang-ulang dengan tujuan mengganggu korban yang lebih lemah.

Realitas yang terjadi membenarkan beberapa penelitian tentang penyebab perilaku bully. Pelaku bullying adalah anak yang ingin berkuasa, ingin jadi nomor satu, yang lain harus di bawah. Bisa juga ia adalah korban yang melakukan balas dendam. Itu benihnya. Sedangkan yang menjadi pupuk antara lain;
(1) Keluarga dengan pola asuh yang salah. Misalnya satu pihak berpola otoriter sementara pihak lain permisif. Ketika di rumah tertekan, begitulah yang ia lakukan di sekolah. Menekan yang lemah. jadi anak pelaku bullying. Demikian juga dengan keluarga yang permisif. Tindakan bullying yang ia lihat, kemudian ia praktekkan, dibiarkan orang tua. sehingga tidak merasa salah.

(2) Lingkungan. Lingkungan dengan system control yang lemah menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya perilaku bullying. Baik di sekolah maupun masyarakat. Misalnya adanya pembiaran perilaku bullying. Bahkan disoraki saat ada anak mengintimidasi anak lain. Anak merasa apa yang dilakukan baik-baik saja, bahkan keren.

(3) Tontonan aksi bullying. Anak menontonnya di televisi tanpa pendampingan atau penjelasan orangtua.  Karena melihat, dianggap biasa bahkan keren. Terbentuk  pola pikir; bullying wajar. Saat  menghadapi situasi yang sama ia akan melakukan seperti yang ditontonnya.

Bagaimana sekolah meminimalisir perilaku bully? Yang penting adalah memberikan kemampuan mengenal emosi diri dan orang lain. Mampu mengendalikan diri dan tenggang rasa dalam setiap kondisi. Baik ketika senang, sedih, bahkan marah sekalipun.

Kunci mengendalikan emosi, menenangkan hati adalah dengan dzikir. Panduan yang pasti tentang dzikir adalah melalui agama Islam.

Kurikulum 2013, yang merupakan Kurikulum Nasional sudah mensyaratkan adanya Kompetensi Inti (KI). Kompetensi yang harus dimiliki setiap lulusan sekolah. KI-1 adalah kompetensi relegius (sikap keagamaan) dan KI-2 adalah sikap sosial.

Kompetensi yang berkenaan dengan sikap keagamaan dan sosial dikembangkan secara tidak langsung (indirect teaching) yaitu pada waktu peserta didik belajar tentang pengetahuan (Kompetensi Inti 3) dan penerapan pengetahuan (Kompetensi Inti 4). Artinya, konten nilai-nilai agama harus ada disetiap tema pelajaran. Bahkan di setiap kegiatan sekolah.

Mengoperasionalkan hal hal di atas dalam rangka meminimalisir perilaku bully disarankan ada ativitas berikut;
a) Lingkar Hati, adalah istilah yang saya usulkan untuk kegiatan semacam halaqah talim. Duduk melingkar seorang guru dengan 5 hingga 10 murid. Mendiskusikan  materi ajaran Islam dalam bahasa dari hati ke hati. Biasanya dilakukan setelah sholat dzuhur.

b) Mengangkat bahaya bullying sebagai contoh dalam berbagai sub tema yang diajarkan. Misalnya dalam sosiodrama, tugas membuat dialog, membuat gambar bercerita ||

Penulis: Slamet Waltoyo

Powered by Blogger.
close