Menikmati Rizqi
Oleh : Salim A. Fillah
Makanan
lezat dapat diburu, hidangan mahal dapat dibeli. Untuk menikmati racikan
seorang Chef Bintang Sekian Michelin di Paris, kita harus mengajukan reservasi
jauh-jauh hari, dengan uang pangkal yang cukup untuk biaya hidup di Yogyakarta
selama berbulan tanpa ngeri.
Tapi
nikmatnya makan adalah rizqi, Allah Yang Maha Memberi lagi Membagi.
Seorang
bapak di Gunung Kidul yang mencangkul sejak pukul 07.00 pagi, di jam 10.30
didatangi sang istri. Sebuah bakul tergendong di punggungnya, dengan isi amat
bersahaja. Nasi ketan bertabur parutan kelapa. Sementara cereknya berisi teh
panas, wangi, sepet, kenthel, dan legi.
Peluh dan
lelah menggenapkan rasa nikmat di tiap suapan sang belahan jiwa. Senyum mereka
tak terbeli oleh berapapun harga.
Ranjang
paling empuk dapat dibeli. Kamar tidur paling mewah dapat dirancang. Hotel
berlayanan bintang tujuh, Burj Al ‘Arab di Dubai dapat menyediakan ruang rehat
dengan sewa semalam seharga membangun rumah di negeri kita.
Tapi
nikmatnya tidur adalah rizqi. Allah Yang Maha Memberi lagi Membagi.
Seorang anak
pemulung berbantal kayu, beralas kardus, berselimut koran terlelap di atas
gerobak orangtuanya pada suatu malam di Jakarta. Begitu nyenyak sampai susah
untuk membangunkannya.
Gaji yang
tinggi dapat dikejar dengan karir cemerlang. Uang yang banyak dapat dikumpulkan
dengan memeras keringat hingga kering dan membanting tulang hingga linu. Tapi
rizqi adalah soal menikmati, Allah Yang Maha Memberi lagi Membagi.
Seorang
direktur sebuah BUMN bergaji besar yang duduk di samping saya dalam penerbangan
kelas bisnis hanya memandang cemburu ketika sajian saya nikmati. Saya bertanya
mengapa hanya air putih saja yang diteguknya, digenggam erat dalam gelas kaca.
Sungguh
berat bagi beliau; mau makan manis, kata dokter, “Jangan Pak, diabetesnya.” Mau
makan gurih, kata dokter, “Jangan Pak, kolesterolnya.” Mau makan asin, kata
dokter, “Jangan Pak, hipertensinya.” Mau makan kacang, kata dokter, “Jangan
Pak, asam uratnya.”
Ah,
berapakah yang dinikmati manusia dari apa yang dia sangka miliknya dan
ditumpuk-tumpuk dan dihitung jumlahnya. Sekira 1000 triliun ada di rekeningnya,
lalu esok pagi tiba malaikat maut menunaikan tugasnya, rizqi siapakah itu
sebenarnya? Ahli waris atau bahkan musuh bisnis, Allah tak kekurangan cara
untuk mengantarnya pada yang sudah dijatahkan tertulis di sisiNya.
Betapa benar
Al Mushthafa ï·º ketika bersabda, “Anak Adam berkata, ‘Hartaku! Hartaku!’ Padahal apalah
hartanya itu selain makanan yang dilahapnya hingga habis, pakaian yang
dipakainya hingga usang, dan apa yang dinafkahkannya di jalan Allah lalu dia
dapati Allah membalasnya berlipat di akhirat.”
Rizqi adalah jaminan. Menjemputnya adalah ujian.
Bekerja adalah ibadah kita; ‘itqan, ihsan, ikhlas; bukan mencari rizqi, tapi
mencari pahala. Sebab kita harus memindahkan kekhawatiran, dari yang dijamin
kepada yang belum dijamin. Yakni; akankah pulang kita ke surga?
___________
Suatu kala dalam musim dingin di New York, bahkan kopi hangat dan sup labu kuning terasa begitu surgawi.
___________
Suatu kala dalam musim dingin di New York, bahkan kopi hangat dan sup labu kuning terasa begitu surgawi.
Sumber :
www.salimafillah.com
Post a Comment