Pelajaran Hidup dari Sekolah

Oleh : Imam Nawawi

Pagi hingga siang weekend kali ini (12/5) saya menemani sesi pamungkas putraku di TK Kangguru Kecil. Dia resmi dinyatakan tuntas mengikuti masa pembelajaran di PAUD hingga TK. Sebuah fase perdana untuk selanjutnya melangkah lebih jauh.

Terlihat aura semangat dan bahagia sejak pertamakali bangun tidur, hingga mandi, sarapan, dan berangkat ke arena perpisahan dan pentas seni. Nampaknya ia sadar bahwa inilah momen kebersamaan yang paling langka dimana ia harus hadir menjadi bagian yang menunjukkan komitmen kebersamaan.

Saat sesi demi sesi acara berlangsung, terutama kala satu persatu melihat betapa sabar dan tekunnya para guru mendidik mereka, saya seketika terbawa pada masa dahulu belajar di sekolah, teringat wajah guru-guru SD-ku kala itu, yang tak saja sabar tapi juga murah senyum.

Mereka orang-orang yang sangat berjasa dalam perjalananku, tetapi mereka adalah sosok yang paling tak mudah dijangkau. Maka dalam hati, saya berharap, semoga anak-anakku nanti bisa menjangkau gurunya yang telah mendidik dengan sabar dan tekun di masa ia bersinar dan memberikan kemanfaatan bagi kehidupan bangsa dan negara ini.

Sekolah memang masa yang penuh kenangan, penuh keindahan, memang sebagian ada yang mengalami keindahan seperti yang dinyanyikan Cryshe, “Kisah Kasih di Sekolah.” Tetapi, bagiku sekolah adalah tempat belajar hidup yang sebenarnya.

Belajar untuk menata diri dengan kedisiplinan, berpikir jauh dan berjiwa besar. Saya teringat kala di kelas XI SMA di Loa Kulu, Kutai Kartanegara. Saya bertanya kepada guru matematikaku yang sekarang telah kembali keharibaan-Nya.

“Bapak, kira-kira apa manfaat langsung yang bisa kita terapkan dari belajar Trigonometri?”

Mendengar pertanyaanku itu, Pak Edi, demikian kami biasa akrab menyapa beliau, tersenyum. “Kalau manfaat langsung untuk dagang, untuk buat sumur, tentu belum bisa kamu temukan saat ini. Tapi, kalau kamu terus menekuninya, kamu akan tahu bahwa dari Trigonometri inilah akurasi sebuah rencana kehidupan bisa disusun.”

Kala itu, saya hanya mampu mengangguk, tanda bahwa sangat panjang jalan yang harus ditempuh untuk mengerti apa itu manfaat langsung Trigonometri dalam kehidupan.

Kembali pada anak-anak, saya lihat mereka memang belum sepenuhnya bisa memenuhi harapan saya dan istri selaku orang tua, bahkan sangat tidak memenuhi harapan para gurunya.

Tapi satu yang saya lihat tanda bahwa mereka adalah anak yang tidak lupa dengan bekal dan pesan yang diberikan para guru adalah kemauang mereka mengetahui banyak hal. Saya boleh katakan, mereka punya “kemauannya bertanya yang sangat tinggi.”

Di rumah, kami sering ngobrol bersama mereka. Setiap ada kosa kata baru, mereka selalu tertarik untuk mengetahui. Dan, setiap jawaban memancing beberapa pertanyaan mereka. Asyik memang berdialog bersama mereka. Bahasanya sederhana, namun pertanyaannya kadang-kadang menekan nalar sedemikian rupa untuk bisa menemukan jawaban yang tepat.

Pada prinsipnya, kita semua punya kesan indah dengan sekolah, semoga demikian pula dengan anak-anak kita.

Terimakasih kepada para guru, pahlawan tanpa jasa, sosok yang marahnya adalah kasih sayang, sosok yang senyumnya adalah visi untuk kita tak boleh menyerah. Pilihan mereka mendidik anak bangsa adalah pilihan mulia, yang membantu negara mewujudkan tujuan kemerdekaan.

Jika para guru telah memilih jalan mulia, sudah sepatutnya kita juga mengikuti smangat tersebut meski dengan bidang yang berbeda.

Saat kutanya putraku, apa yang diinginkan kala masuk SD. Dengan santai ia berkata, “Nanti mau bisa bahasa Arab, bahasa Inggris, bisa Al-Qur’an.”

Dalam hati saya bahagia, dengan umurmu yang tak seberapa, sudah ada kalimat itu dari bibirmu. Semoga apa yang kau ucapkan itu nak, dicatat malaikat lalu dibawa kehadapan Allah, kemudian Allah katakan kepada malaikat itu, “Penuhi apa yang diinginkan hamba-Ku itu.”

Subhanalloh.

Bogor, 28 Sya’ban 1439 H
Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia

Powered by Blogger.
close