Sehat itu Nikmat, Maka Mintalah Kepada-Nya
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Ada dua orang teman saya sakit. Yang satu saya sempat akrab, yang satu tak begitu akrab. Tetapi keduanya mengalami musibah sakit yang sama, kejadiannya sama-sama begitu cepat. Sudah berbulan-bulan sakit itu datang, tetapi hingga kini kesembuhan tak kunjung datang.
Sebenarnya sehat dan sakit itu hal yang wajar terjadi pada setiap manusia. Kita pun bisa sewaktu-waktu sakit. Tetapi apa yang menimpa teman saya ini membuat saya merenung seraya berusaha meneguhkan bahwa tiada daya dan upaya selain semata-mata karena Allah Ta’ala. Dialah yang berkuasa atas diri kita. Kapan pun Allah Ta’ala menitahkan, pasti akan terjadi. Allah ‘Azza wa Jalla yang menentukan apa pun yang Ia kehendaki. Bukan diri kita yang menentukan apa yang Allah Ta’ala akan berikan kepada kita.
Masih teringat sosok teman saya ini. Juga orang-orang yang berguru kepadanya. Betapa mereka yakin dan sekaligus mengajarkan dalam berbagai training berbayar bahwa kuasa atas diri kita itu ada pada diri kita. “Mau sehat atau sakit, itu tergantung kita. Kalau kita mau sehat, kita program pikiran kita. Maka kita tidak akan mungkin sakit.”
Atau ucapan yang sama bathilnya, “Kalau ada orang sampai sakit, itu pikirannya yang salah sehingga dia sakit. Kalau mau, kita dapat menyembuhkan diri kita sendiri dengan memerintahkan badan kita untuk sembuh melalui kekuatan pikiran kita. Yang penting tahu tekniknya, tubuh kita akan menyembuhkan diri kita sendiri tanpa bantuan orang lain.”
Ucapan ini segera mengingatkan saya kepada Fir'aun yang tidak pernah sakit. Tetapi dia musuh Allah 'Azza wa Jalla yang sifat keadilan-Nya, Allah Ta'ala masih utus Musa 'alaihissalam untuk mengingatkan dan mengajak kembali kepada jalan tauhid. Pernyataan itu juga segera mengingatkan saya kepada Nabi Ayyub 'alaihissalaam yang ujian terberatnya adalah sakit menahun tak kunjung sembuh.
Ada ucapan yang lebih bathil dari itu, lebih besar kerusakan tauhidnya, menganggap do’a hanyalah semacam kalimat afirmasi semata. Tetapi di atas semua itu, sakit yang menimpa teman saya ini memberi pelajaran betapa kita tidak boleh sombong kepada Allah ‘Azza wa Jalla seakan kitalah penentunya; seolah kalau kita mau, pasti Allah Ta’ala akan menyesuaikan dengan persangkaan kita. Mereka menggunakan ucapan dalam dalil, tetapi melepaskan diri dari maksud dalil.
Apakah teman saya ini tak ingin sembuh sehingga sampai hari ini masih terbaring sakit? Bukankah telah dinyatakan bahwa kita dapat memerintahkan tubuh kita sendiri untuk mencapai kesembuhan yang sempurna?
Ingin. Saya ingin segera sehat kembali seperti sedia kala. Tetapi kesehatan itu Allah 'Azza wa Jalla yang berikan. Bukan kita yang mengendalikan dan memastikan bahwa kita pasti akan segera sehat kembali.
Saya pun duduk termangu ketika menerima pesan dari teman-teman untuk memohon ketulusan do’a bagi kesembuhan teman saya ini. Tetapi hati saya bergolak ketika sebagian permohonan do’a kesembuhan itu berbungkus syubhat yang sangat nyata: “semakin banyak yang mendo’akan, maka akan memantulkan vibrasi yang semakin besar dari alam semesta untuk kesembuhannya dengan izin-Nya”.
Kita lemah. Sungguh. Sakit dapat menimpa siapa saja, bahkan sekalipun ia seorang dokter. Itu sesuatu yang sangat wajar. Kita perlu menjaga kesehatan. Kita perlu ikhtiar. Pada saat yang sama, mari kita tak putus-putus untuk berdo’a memohon ‘afiyah. Lebih dari sekedar sehat. Bukankah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah menyuruhkan kepada kita untuk memohon keimanan dan ‘afiyah? Beliau bersabda:
سَلُوْا الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فَإِنَّ أَحَدًا لَمْ يُعْطَ بَعْدَ الْيَقِيْنِ خَيْرًا مِنَ الْعَافِيَةِ
“Mohonlah ampunan dan ‘afiyah. Sesungguhnya seorang hamba tidak memperoleh karunia yang lebih baik setelah (memperoleh) al-yaqiin lebih dari menerima ‘afiyat.” (HR. Tirmidzi).
Semoga Allah Ta’ala karuniai kesembuhan kepada teman saya ini dengan kesembuhan penuh barakah; kesembuhan fisik dan sekaligus hidayah fil Islam yang kokoh serta mendakwahkannya kepada orang lain. Adapun yang seorang lagi, semoga Allah Ta'ala berikan ampunan kepadanya dan ringankan hisabnya. Seorang kawan memberi kabar bahwa teman saya ini telah menghadap Allah 'Azza wa Jalla. Allah Ta'ala wafatkan ia.
Selebihnya, kita berdo’a, memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah ‘Azza wa Jalla kesehatan
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan ('afiyah) yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim).
Penulis : Mohammad Fauzil Adhim, Motivator dan Penulis Buku
Post a Comment