Yang Tak Sesat di Masa Jahiliyah
Oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Aku
termangu merenungi kisah Zaid bin Amr bin Nufail. Namanya disebut dalam Shahih
Bukhari. Inilah orang yang hidup di zaman Jahiliyah, tidak sempat bertemu
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ia termasuk orang yang
dikabarkan tempatnya di surga oleh lisan suci Muhammad Khatamun Anbiya’. Para
ulama menyebutnya sebagai Muwahhidul Jahiliyyah. Orang yang benar-benar
bertauhid di masa Jahiliyah, meskipun ia belum berjumpa dengan Rasulullah.
Ketika
orang-orang di masanya menyembah berhala, tak sedikit di antaranya dipasang di
sekeliling Ka’bah, Zaid bin Amr bin Nufail pernah datang ke sana di usianya
yang telah senja. Bukan untuk menyembah berhala. Tetapi ia datang meneguhkan
iman tauhidnya.
Asma’
binti Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyaLlahu ‘anha pernah berkisah, “Aku pernah
melihat Zaid bin ‘Amr bin Nufail, seorang yang sudah lanjut usia, menyandarkan
punggungnya pada Ka'bah dan berseru, ‘Wahai orang-orang Quraisy! Demi Dzat yang
jiwa Zaid bin ‘Amr berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari kalian yang
memegang agama Ibrahim selain aku. Ya Allah, seandainya aku mengetahui wajah
apakah yang paling Engkau cintai niscaya aku menyembah-Mu dengannya. Tetapi aku
tidak mengetahui.’ Kemudian ia bersujud sekenanya.”
Pernah
ia melakukan perjalanan ke Syam, menemui tokoh Yahudi dan Nasrani di sana dalam
rangka menemukan agama yang Allah Ta’ala ridhai. Inilah perjalanan untuk
memperjuangkan iman, yakni berjuang dengan gigih agar sampai kepada agama yang
haq. Ia beriman kepada Allah Ta’ala, tidak mempersekutukan-Nya, tidak meminum
khamr maupun melakukan perbuatan maksiat. Tetapi ia belum mengetahui, dimana ia
akan temukan agama yang lurus itu. Begitu gigih perjuangannya hingga bertemulah
ia dengan seorang rahib yang mengabarkan bahwa Nabi terakhir akan turun di
negeri tempat tinggalnya, Makkah, dan Nabi terakhir itu akan turun di masa itu.
Zaid
bin ‘Amr bin Nufail pun kembali ke Makkah. Tetapi sebelum tiba, ia mati
dibunuh. Ini terjadi 5 (lima) tahun sebelum Muhammad shallaLlahu alaihi wa
sallam bi'tsah (diangkat sebagai Rasul). Di ujung hidupnya, ia berdo’a,
"Ya Allah, jika Engkau menghalangiku untuk mendapatkan kebaikan ini, maka
janganlah Engkau menghalangi anakku dari mendapatkannya."
Allah
‘Azza wa Jalla kabulkan do’anya. Seorang putranya, Sa’id bin Zaid radhiyaLlahu
‘anhu, termasuk satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Artinya, ia
termasuk yang terbaik di antara para sahabat yang mulia.
Tentang
Zaid bin ‘Amr bin Nufail, ada kabar istimewa. Dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyaLlahu ‘anhu, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “يبعث يوم القيامة أمة وحده. Dia dibangkitkan pada hari
kiamat sebagai umat seorang diri.”
Bukankah
ia seorang diri? Mengapa disebut ummat? Inilah yang penting untuk kita pahami.
‘Abdullah bin Umar radhiyaLlahu ‘anhuma mengatakan, “Umat adalah manusia yang
mengetahui agamanya.”
Ketika
menerangkan tafsir dari Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 213, Ibnu Katsir
menerangkan dengan mengutip dari Mujahid, “Ibrahim adalah seorang umat, yaitu
yang beriman sendirian sedangkan tak ada seorang manusia pun yang beriman
karena mereka semua kafir pada saat itu.”
Jika
seseorang yang bukan Nabi dan bukan pula Rasul saja dapat terhindar dari
kesesatan di masa Jahiliyah, maka lebih-lebih seorang Rasul yang jauh sebelum
kelahirannya telah dikabarkan dalam kitab suci sebelumnya tentang kehadirannya.
Ia terjaga kesesatan, terjauhkan pula dari kesyirikan. Bukankah kita dapati
dalam hadis panjang riwayat At-Tirmidzi betapa seorang rahib di Syam menyuruh
agar Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam segera dibawa kembali pulang ke
Makkah? Ketika itu beliau diajak oleh Abu Thalib, pamannya, ke negeri Syam.
Rahib itu memegang dada beliau yang masih belia dan berkata, “Anak ini akan
menjadi penghulu semesta alam, anak ini akan menjadi Rasul dari Rabbul ‘Alamin
yang akan diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Selain
mengabarkan penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Muhammad shallaLlahu ‘alaihi
wa sallam, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, riwayat ini juga menunjukkan
bahwa beliau ke sana bukan untuk berbisnis. Hal yang wajar kalau seorang paman
mengajak kemenakan yang sangat disayanginya melakukan perjalanan jauh dan
menyenangkan hatinya.
Tentang
penjagaan diri beliau dari kesesatan, mari kita ingat hadis shahih riwayat
Muslim dari Anas bin Malik radhiyaLlahu ‘anhu:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ
فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ
فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً فَقَالَ هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ
ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ لَأَمَهُ
ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى
أُمِّهِ يَعْنِي ظِئْرَهُ فَقَالُوا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ
فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ
قَالَ أَنَسٌ وَقَدْ كُنْتُ أَرْئِي أَثَرَ ذَلِكَ الْمِخْيَطِ فِي صَدْرِهِ
“Bahwa Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jibril ketika beliau shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sedang bermain dengan beberapa anak. Jibril kemudian menangkapnya, menelentangkannya, lalu Jibril membelah dada. Jibril mengeluarkan hatinya, dan mengeluarkan dari hati beliau segumpal darah beku sambil mengatakan “Ini adalah bagian setan darimu”. Jibril kemudian mencucinya dalam wadah yang terbuat dari emas dengan air zam-zam, lalu ditumpuk, kemudian dikembalikan ke tempatnya. Sementara teman-temannya menjumpai ibunya (maksudnya orang yang menyusuinya) dengan berlari-lari sembari mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh”. Kemudian mereka bersama-bersama menjumpainya, sedangkan dia dalam keadaan berubah rona kulitnya (pucat). Anas mengatakan, “Saya pernah diperlihatkan bekas jahitan di dadanya.” (HR. Muslim).
Masih
banyak hujjah yang dapat kita telusuri untuk memantapkan keyakinan kita bahwa
Nabi kita, kekasih hati kita yang membuat kita senantiasa merindui untuk datang
ke masjidnya di Madinah Al-Munawwarah, mengucapkan salam kepadanya dan
berbanyak-banyak shalawat, sungguh tidak pernah terjatuh ke dalam kesesatan
maupun kerusakan iman walau hanya sesaat. Bagaimana mungkin seseorang yang
semenjak awal telah dipersiapkan untuk menjadi Rasul, yang telah dibersihkan
dadanya di masa kanak-kanak dari hal-hal yang dapat mengotorinya, lalu menjadi
sesat di masa muda maupun dewasanya? Sedangkan Zaid bin Amr bin Nufail dapat
menjadi Muwahhidul Jahiliyyah.
Maka
untuk orang yang paling mulia di antara seluruh manusia, untuk kekasih hati
yang kita rindui syafa’atnya di Yaumil Qiyamah, marilah kita bershalawat dengan
tulus,
“اللَّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ”
Semoga tulisan sederhana dari orang yang masih amat buruk amalnya, kurang ibadahnya dan miskin ilmu ini dapat menjadi sebab syafa’at kelak di hari kiamat, ketika tak ada syafa’at yang dapat dinanti kecuali syafa’at beliau. Semoga Allah Ta’ala kumpulkan kita dengan beliau, betapa pun amat jauh kita darinya. Semoga pula Allah Ta’ala baguskan keluarga dan keturunan kita serta Allah Ta’ala saling susulkan ke surga-Nya yang tertinggi.
Mohammad Fauzil
Adhim, Penulis
Buku dan Motivator
Post a Comment