Kita Tak Menemukan Celah untuk Berpikir Buruk
Oleh : Imam Nawawi
Ketika Rudi merasa kesal karena hujan
turun dan menghambat perjalanannya ke sebuah pertemuan, ia sedang tidak sadar
bahwa hujan itu diperlukan semesta untuk menjamin hidupnya dan hidup semua
makhluk di bumi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Begitu juga dengan Rina yang mengeluh
payah karena cuaca mendung sepanjang hari yang menjadikan jemuran miliknya
tetap lembab. Spontan ia berkata, “Kesel, jemuran dari pagi sampai sore nggak
kering-kering.”
Keadaanya berbeda 360 derajat dengan
Yuni, mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Kalimantan Timur. Ia mengeluh
kegerahan, karena mendapati jam kuliah tepat pukul 13:00 WITA.
Pada saat yang sama, Verdi merasa
sangat kesal, karena sudah buka bengkel lebih dari 5 jam, namun tak ada
pelanggan datang. Cuaca yang terik pun ia maki. “Haaah… dari tadi tidak ada
pelanggan, mana panas lagi, kesel banget,” ucapnya.
Pertanyaannya, mengapa manusia selalu
terjebak berpikir buruk, bahkan terhadap cuaca?
Ini bisa dianalisis dengan beragam
pendekatan. Tetapi, kita coba mulai dari sisi kemampuan melihat kehidupan
secara lebih luas.
Saat seseorang “mengutuk” cuaca hanya
karena kepentingannya terganggu, bukankah orang ini sangat egois? Ya, jelas
egois. Bagaimana mungkin cuaca bekerja untuk kepentingannya. Sedangkan alam
semesta ini harus diliputi oleh cuaca yang semestinya, yakni sesuai
kehendak-Nya.
Demikian pula saat orang kesal atas apa
yang dialami dengan menyalahkan cuaca.
Dari sini dapat dipahami bahwa manusia
akan berpikir buruk alias berpikir negatif jika melihat hidup sebatas dirinya
sendiri. Lupa akan makna dan hakikat dari keadaan yang secara sunnatullah mesti
terjadi.
Di sini, kemampuan berpikir sangat
diperlukan oleh siapapun. Tidak selalu profesor. Seorang tukang cor pun harus
mampu berpikir luas, jika ingin selamat dari berpikir buruk.
Berpikir buruk akan membunuh kesadaran
untuk berpikir positif dan pada akhirnya selalu memandang salah apapun yang di
luar dirinya.
Lebih jauh, dalam kajian keimanan,
berpikir buruk akan mendatangkan keburukan itu sendiri. Sebab, Allah mengikuti
prasangka hamba-Nya.
Tidak heran jika kemudian Rasulullah
memberikan peringatan, “Jangan sampai salah seorang di antara kalian meninggal
dunia, melainkan dia berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR.
Muslim).
Artinya, berpikir positif itu perlu dan
harus. Sekalipun kesulitan, kesusahan, dan cobaan seakan tak kunjung berakhir
dalam hidup kita.
Perhatikanlah mereka yang sukses dalam
urusan apapun, tidak mungkin dan pasti mereka tidak pernah membiarkan cara
berpikir buruk menggelayuti kehidupan mereka.
Lantas bagaimana, kita yang beriman,
mendirikan sholat dan berharap kebaikan dunia akhirat terjerembab pada
kebiasaan buruk dengan terus berpikir buruk.
Padahal di dunia ini, jika kita
memandang dengan iman dan ilmu, sungguh tak ada celah untuk kita bisa berpikir
buruk. Allahu a’lam.
Jakarta, 11 Muharram 1439 H
Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia
Imam Nawawi >>> twitter @abuilmia
Post a Comment