Praktek Baik Tak Selalu Baik


Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Ada nasehat menarik dari Mike Myatt, penasehat kepemimpinan untuk Fortune 500 CEO and Boards sekaligus penulis buku “Leadership Matters”. Ia mengingatkan para pemimpin yang mengharapkan perubahan dan kemajuan agar tidak terjebak pada apa yang orang sebut sebagai best practices. Secara harfiah, best practices ini bermakna praktek-praktek terbaik. Untunglah di Indonesia istilah ini diterjemahkan sebagai praktek baik, bukan terbaik.

Apa masalahnya? Mengapa praktek baik sebagai yang terbaik bukan saja mematikan inovasi, tetapi menahan kita dari mencapai level tertinggi. Ibarat lembaga yang memiliki visi besar, tetapi tidak merumuskan misi, program dan kegiatan yang diturunkan dari visi tersebut, maka sebagaimana yang ditulis oleh Shane Snow dalam The Problem with Best Practices (Masalah dengan Praktek Baik), “Best practices don’t make you the best. They make you the average of everyone else who follows them.” Praktek baik tidak membuatmu menjadi yang terbaik. Praktek-praktek baik itu hanya akan membuatmu menjadi biasa-biasa saja di antara siapa pun yang mengikuti berbagai praktek baik tersebut.

Apakah praktek baik sama sekali tidak dapat dipakai? Bisa. Tetapi ada sejumlah persyaratan agar praktek baik tersebut tidak menjadikan kita terperangkap pada cara yang seringkali tidak berlaku umum di berbagai tempat. Di antara alasan Mike Myatt menyarankan agar kita menggunakan istilah proven practices (praktek yang telah terbukti) dan bukannya best practices adalah agar kita tidak terjebak dengan anggapan diri sendiri seolah itu sudah terbaik sehingga patut diduplikasi begitu saja. Padahal yang terbukti tidak sama dengan yang terbaik, bahkan boleh jadi masih jauh, tetapi hanya menunjukkan bahwa cara itu dapat kita pakai. Yang lebih mendasar adalah, terjebak dengan berbagai praktek baik membuat orang enggan beranjak untuk melakukan perubahan yang didasari oleh cita-cita besar. Ada cita-cita, tetapi ia hanya jargon. Bukan tekad yang diturunkan dalam bentuk langkah-langkah terukur.

Hildy Gottlieb, seorang pakar ilmu sosial menulis dalam When “Best Practice” is Bad Practice (Ketika Praktek Terbaik merupakan Praktek Buruk) mengingatkan bahwa penggunaan praktek baik sebagai “prototype” membuat orang tidak mau memahami masalah dengan benar. Praktek baik seolah sesuatu yang sempurna, sehingga ketika menemukan kegagalan akan mudah melempar alasan, “Buktinya di tempat saya bisa jalan.” Praktek baik seolah tak mungkin salah. Lupa bahwa banyak aspek yang mempengaruhi. Lupa pula ada enabling maupun disabling factors yang perlu diperhatikan.

Semoga catatan ringkas ini bermanfaat bagi sekolah maupun lembaga ketika ingin menerapkan praktek baik lembaga lain di sekolahnya. Kehati-hatian itu semakin perlu manakala yang mau diterapkan bukanlah praktek baik sekolah lain yang secara langsung dilihat, melainkan hanya cerita tentang praktek baik sekolah lain yang tertuang dalam buku atau naskah lainnya.
Powered by Blogger.
close