Fauzil Adhim: Tanpa TV Anak Berfikir Lebih Luas
www.majalahfahma.com | Pengaruh televisi dalam
keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian
masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah
tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik
dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan
dengan produk budaya lain, seperti buku. Hiburan yang disajikan mampu menarik
mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari.
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga
perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia
memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu. Tapi jumlah
itu tak termasuk Mohammad Fauzil Adhim (38), pria yang namanya melejit
lewat bukunya “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” (1977) justru tak memiliki
TV. Mungkin akan terasa janggal bagi semua orang. Bagaimana cara dia
menjelaskan pada anak tanpa hiburan TV di rumah? Berikut petikannya
wawancara dengan laki-laki kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 29 Desember
l972 ini.
Apa alasan Anda menolak TV di rumah?
Saya tidak menolak, tapi karena saya melihat tidak ada alasan yang
membuat TV layak untuk dipelihara di rumah, sehingga saya tidak memelihara TV.
Sejak kapan itu Anda lakukan?
Memang sejak awal saya sudah tidak memelihara TV. Tapi suatu saat,
karena penasaran ingin tahu seperti apa sih TV sekarang, saya dan istri pernah
juga mencoba menyewa TV. Nah, pada saat TV itu distel, justru anak pertama
saya, Fathimah yang memprotes, dan minta TV itu dimatikan. Sampai dia
bilang,”Ibu dimatiin, kok Ibu suka sih nonton film yang jelek-jelek. Itu kan
nggak bagus.” Makanya TV akhirnya dimatikan dan kita tidak pernah nyewa lagi.
Mudharatnya apa?
Tidak ada stasiun TV yang mengudarakan acara yang benar-benar
mengaktifkan otak anak, dan menggugah anak terlibat dalam proses berfikir. TV
justru menyedot perhatian anak yang dalam jangka panjang bisa mempasifkan
otaknya. Belum lagi soal content (isi). Film-film yang ditayangkan maupun iklan
pariwaranya sebagian besar tidak layak untuk dikonsumsi anak. Katakanlah
misalnya ada acara yang cukup bagus, itu saja mengenaskan.
Berarti Anda tidak butuh TV?
Saya merasakan tidak ada kebutuhan dari TV. Karena itu mengapa
saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Menurut saya hiburan yang
paling mahal ya TV. Untuk mendapatkan sampah kita harus mengeluarkan biaya
jutaan rupiah, padahal dengan dana segitu, kita bisa membelikan anak-anak
kita ensiklopedi, atau bisa
kita belikan komputer atau buku, atau hal-hal lain yang jelas manfaatnya.
Di TV kan juga ada tayangan pendidikan yang bermanfaat untuk anak?
Pertama, Ayat Al-Quran bisa ditempelkan di tissue, di kaleng bir.
Tapi kalau ada tulisan bismillah di kaleng bir bukan berarti birnya halal.
Khamr pun dikatakan ada manfaatnya, tapi kenapa diharamkan? Berarti ada
manfaatnya tidak cukup untuk menjadikan sesuatu itu halal. Kedua,
tayangan-tayangan yang diperuntukkan anak-anak sebagian besar tidak dikemas
sesuai dengan perkembangan anak, dan tidak dikemas untuk merangsang kemampuan
berpikir aktif maupun konstruktif, sehingga anak hanya menjadi pihak yang
mengalami terpaan exposure dari berbagai tayangan TV.
Bagaimana dengan kebutuhan informasi yang bisa didapatkan di TV?
Sumber informasi, sumber untuk mendapatkan kebutuhan psikis berupa
perhatian, kebutuhan untuk mendengarkan itu ada pada orang tua, dan orang-orang
penting lainnya dalam keluarga. Kalau dalam ilmu psikologi dikenal dengan
significant person atau significant others. Sejauh ini, sepanjang yang saya
tahu, kualitas attachment yang baik meningkatkan kreatifitas anak, meningkatkan
kecerdasan anak dan meningkatkan percaya diri anak. Anak cenderung akan memiliki
konsep diri yang bagus dan cenderung lebih bisa mengelola dirinya.
Apa dampak lebih jauh dari menonton TV?
Sejauh yang saya pahami sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan oleh ahli-ahli psikiatri Amerika Serikat, tayangan TV yang sering
disaksikan anak adalah tayangan-tayangan yang tidak dikemas untuk anak,
sehingga banyak menonton TV menyebabkan anak otaknya pasif dan cenderung tidak
suka berpikir. Dan jika anak tidak suka berpikir, maka anak cenderung tidak
mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan baik. Dan itu berarti menambah
kesulitan kita dalam mendidik anak.
Bagaimana respon anak dengan tidak adanya TV di rumah?
Anak-anak memang saya didik untuk suka membaca. Karena itu mereka
cenderung bisa mengungkapkan gagasannya dengan lebih baik. Dan anak-anak yang
suka membaca itu cenderung memiliki informasi yang lebih kaya. Bahkan terkadang
kalau sudah seperti itu, anak-anak malah suka usul pada saya. Misalnya Fathim,
ketika melihat gambar mobil yang ada TV-nya, justru mengatakan pada saya, ”Bapak
kalau mau beli mobil tak usah pakai TV, karena di TV banyak yang jelek.”
Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?
Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?
Jadi yang penting prosesnya. Kalau anak langsung dilarang, anak
akan penasaran. Tapi cukup dengan dialog. Sebagaimana sekarang Fathimah ndak
mau makan di Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, ndak mau minum air mineral yang
mereknya Aqua dan Ades. Semua itu bisa ditanamkan karena ada dialog, kalau
semua itu produk boikot. Begitu juga dengan menyikapi TV, harus ada dialog.
Pernah ditanyai anak tentang TV?
Saya pernah ditanya anak, ”Bapak kok nggak punya TV. Kata temanku
kalau ndak punya TV berarti miskin.” Ini kan berarti social pressure,
tekanan-tekanan masyarakat. Nah di sinilah saya perlu menjelaskan
setepat-tepatnya. Ya karena kebetulan Allah memberikan rezeki pada saya maka
saya gantikan dengan benda-benda yang ada manfaatnya, dan harganya melebihi TV,
seperti ensiklopedi. Sekarang anak saya punya 3 ensiklopedi. Itu
memberikan pemahaman pada anak bahwa ini lebih berharga dari TV, dan saya
memperkuat dengan dialog bahwa ini lebih baik dari TV.
Apa pengganti TV, selain ensiklopedi?
Apa pengganti TV, selain ensiklopedi?
Kalau anak sudah senang buku apakah kemudian dia masih ingin
mencari ganti yang lain. Jadi tidak sekedar ensiklopedi, tapi
komputer, buku atau bacaan-bacaan lainnya. Atau juga ketika anak-anak butuh
hiburan, saya belikan tenda yang mereka bisa bermain di sana.
Anak-anak tidak bosan baca ensiklopedi dan buku terus-terusan?
Kalau otak anak itu aktif, maka dia akan cenderung aktif mencari.
Kalau dia sudah bosan membaca, maka dia akan mencari kegiatan yang inovatif
lainnya. ketika anak-anak suka membaca, maka mereka cenderung komunikatif,
lebih mampu mengungkapkan perasaannya. Misalnya, suatu saat anak saya minta
dibelikan buku. Untuk apa? Dia mau menulis buku harian. Selain itu, ketika dia
tidak terlalu fokus pada TV, saya lihat mereka cenderung menyukai benda-benda
intelektual, seperti memotret sendiri. Ia mengembangkan berbagai macam
keterampilan karena pikirannya berkembang. Pikirannya tidak tersedot oleh bayangan
yang sebenarnya tidak diperlukan itu.
Nilai positif rumah tanpa TV?
Tanpa TV anak akan memiliki kesempatan berfikir yang lebih luas,
anak akan mengembangkan inisiatif-inisiatif yang lebih aktif dan progresif.
Sementara dengan adanya TV anak siap untuk dicekoki. Anak belum sempat berpikir
sudah dijejali dalam tempo yang sangat tinggi. Ketika anda melihat TV, maka
dalam 1 menit akan terjadi perubahan-perubahan gambar yang luar biasa cepatnya.
Padahal masa kanak-kanak adalah masa yang paling pesat perkembangan otaknya.
Semestinya pada masa itulah rangsang-rangsang otak itu dimaksimalkan. Anak
betul-betul diberi pengayaan rangsang otak yang luar biasa.
Mengapa demikian?
Otak itu berkembang dari usia 0 – 6 tahun, dan porsinya
mencapai 80 %. Sementara sisanya yang 20 % terjadi pada usia-usia
berikutnya. Dari usia itu, yang lebih penting lagi adalah 18 bulan pertama usia
anak. 20% perkembangan otak terjadi pada usia itu. Maka alangkah sayangnya jika
pada usia-usia yang sangat strategis ini justru anak-anak tidak memperoleh
rangsangan yang maksimal. Dan sebaliknya justru hanya memperoleh exposure dari
TV. Padahal banyak kegiatan lain yang bisa merangsang daya nalar anak,
contohnya membaca.
Dampak anak yang suka menonton TV?
Saya kira anak yang biasa menonton TV, maka di sekolah pun TV
memiliki daya tarik yg lebih besar baginya. Karena itu sekolah tidak menjadi
surga baginya. Karena di TV anak tidak akan banyak dapat informasi. Ada kasus
yang pernah saya dapatkan, ketika ada orang tua yang membawa anaknya, saya kira
dia ini idiot sehingga dia tidak naik kelas dan nilainya nol semua, tapi
ternyata anak ini tidak idiot. Ia lebih senang nonton TV dan main game,
sehingga ketika di kelas, pikirannya tidak di kelas, tapi di rumah, yaitu di
TV.
Post a Comment